Akreditasi Puskesmas untuk Mendorong Upaya Preventif
Pemerintah mengubah sejumlah indikator penilaian akreditasi puskesmas. Hal itu bertujuan memerkuat layanan promotif dan preventif tanpa mengesampingkan layanan kuratif.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pusat kesehatan masyarakat atau puskesmas didorong mengedepankan upaya pencegahan penyakit dalam layanan kesehatan di masyarakat. Itu dilakukan dengan mengubah sejumlah indikator penilaian akreditasi puskesmas untuk memperkuat layanan promotif dan preventif tanpa mengesampingkan layanan kuratif.
Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto mengatakan, cakupan kesehatan semesta (UHC) harus dipahami menyeluruh, yakni meliputi layanan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Untuk mencapai target itu, peningkatan akses pelayanan kesehatan diupayakan seiring peningkatan mutu pelayanan.
”Peningkatan mutu layanan, termasuk di puskesmas, harus ditarik kembali ke arah promotif dan preventif. Harapannya, dengan berfokus pada upaya preventif dan promotif, dapat mengefisiensikan pembiayaan kesehatan dan mempercepat capaian target pembangunan kesehatan nasional,” ujarnya pada pembukaan Rapat Kerja Kesehatan Nasional 2020 di Jakarta, Rabu (19/2/2020).
Rapat Kerja Kesehatan Nasional 2020 mengangkat tema ”Promotif Preventif Membentuk SDM Unggul Indonesia Maju 2045”. Pembukaan rapat itu dihadiri antara lain Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional Hasto Wardoyo, serta sejumlah kepala dinas kesehatan dan direktur rumah sakit dari berbagai daerah di Indonesia.
Terawan menyampaikan, salah satu visi bidang kesehatan yang menjadi prioritas pemerintah ialah mengatasi tengkes dan menekan angka kematian ibu dan kematian bayi. Masalah itu bisa diatasi lewat pencegahan sejak dini, mulai dari remaja dengan mengedepankan aspek promotif dan preventif.
Untuk itu, ia mendorong penguatan kolaborasi dan koordinasi dari seluruh pemangku kepentingan terkait, mulai dari pemerintah pusat yang terdiri dari lintas kementerian dan lembaga, pemerintah daerah, organisasi profesi, dan lembaga swadaya masyarakat.
Terkait penguatan puskesmas, Terawan juga meminta kepala dinas kesehatan di setiap daerah untuk mengubah orientasi pelayanan kuratif menjadi promotif dan preventif. ”Akreditasi menjadi salah satu cara untuk meningkatkan mutu pelayanan di puskesmas,” ujarnya.
Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan pada 2019, jumlah puskesmas yang tersebar di seluruh Indonesia sebanyak 10.062 puskesmas. Dari jumlah itu, masih ada 909 puskesmas yang belum terakreditasi.
Direktur Mutu dan Akreditasi Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan Farichah Hanum menambahkan, akreditasi puskesmas akan disempurnakan melalui mekanisme baru. Penyempurnaan konsep ini difokuskan pada upaya promotif dan preventif tanpa mengabaikan upaya kuratif dan rehabilitatif. Selain itu, penyelenggaraan ini berorientasi pada efisiensi program agar tidak membebani puskesmas.
”Dalam akreditasi puskesmas akan dimasukkan delapan standar dalam upaya kesehatan masyarakat (UKM) terkait promotif dan preventif. Standar itu antara lain perencanaan UKM, akses layanan UKM, dan penerapan Program Indonesia Sehat-Pendekatan Keluarga (PIS-PK) serta Germas (Gerakan Masyarakat Hidup Sehat,” ujarnya.
Komitmen
Direktur Pelayanan Kesehatan Primer Kementerian Kesehatan Saraswati berpendapat, keberhasilan penguatan layanan preventif dan promotif di puskesmas bergantung pada komitmen kepala daerah dan kepala puskesmas setempat. Pemerintah kini mendorong agar kepala dinas kesehatan dan kepala puskesmas memiliki latar belakang sebagai tenaga kesehatan.
”Kepemimpinan kepala puskesmas jadi kunci keberhasilan program yang dijalankan masyarakat. Puskesmas memiliki peran krusial karena bertanggung jawab mengelola kesehatan warga di area kerjanya. Tanpa dukungan dari pemimpin daerah, upaya kepala puskesmas tak optimal,” ujarnya.
Saraswati menambahkan, era Jaminan Kesehatan Nasional saat ini mendorong puskesmas untuk memaksimalkan penggunaan dana kapitasi. Ada tiga indikator dalam pembayaran dana kapitasi, yakni indikator kontak dengan masyarakat, termasuk layanan dan promosi kesehatan; rasio rujukan nonspesialistik dengan menekan rujukan; serta pengendalian penyakit kronis.
Kepemimpinan kepala puskesmas jadi kunci keberhasilan program yang dijalankan masyarakat. Puskesmas berperan krusial karena bertanggung jawab mengelola kesehatan warga di area kerjanya.
Dalam aturan terkait puskesmas, Kementerian Kesehatan telah mengubah regulasi dari Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 75 Tahun 2014 menjadi Peraturan Menkes No 43/2019. Dalam perubahan kebijakan itu, upaya promotif dan preventif jadi aspek penting dikedepankan meski tak melepaskan fungsi layanan kuratif dan rehabilitatif di puskesmas.
”Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 43 Tahun 2019 tentang Puskesmas ditambahkan aturan standar pelayanan minimal yang harus dipenuhi sampai 100 persen. Salah satunya mengatur ketenagaan di puskesmas yang harus memenuhi tenaga promosi kesehatan dan edukasi kesehatan,” kata Saras.
Muhadjir Effendy menambahkan, kesehatan jadi modal utama pembangunan manusia Indonesia. Untuk itu, intervensi untuk meningkatkan mutu kesehatan di Indonesia harus dilakukan dalam komunitas terkecil, yakni keluarga.
” Pada masalah stunting (tengkes) misalnya, intervensi harus dari keluarga, dari tingkat rumah tangga. Bahkan, perlu dilakukan mulai dari persiapan calon rumah tangga. Ini menginisiasi kita melakukan persiapan pada masa pranikah untuk mencegah keluarga miskin baru yang berpotensi melahirkan anak stunting,” ujarnya.