Deteksi Dini untuk Cegah Kematian akibat Penyakit Jantung
Kasus penyakit jantung kian meningkat seiring dengan gaya hidup masyarakat yang berubah menjadi tidak sehat. Sayangnya, tingginya risiko ini tidak diimbangi dengan kesadaran masyarakat dalam deteksi dini.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Risiko penyakit jantung terus meningkat seiring dengan gaya hidup tidak sehat yang dijalankan oleh masyarakat. Hal itu semakin mengkhawatirkan karena kesadaran masyarakat untuk deteksi dini masih tergolong rendah.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan Cut Putri Arianie saat dihubungi di Jakarta, Selasa (18/2/2020), mengatakan, tren kasus penyakit tidak menular terus meningkat, termasuk pada penyakit jantung. Peningkatan itu terjadi akibat gaya hidup warga yang berubah menjadi tidak sehat.
”Faktor risiko paling mendominasi terjadi penyakit jantung adalah gaya hidup yang tidak sehat, seperti pola makan tidak seimbang yang tinggi gula, garam, dan lemak, kurangnya aktivitas fisik, dan kebiasaan merokok. Kebiasaan itu semakin banyak dilakukan dengan adanya kemajuan teknologi,” ujarnya.
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 mencatat setidaknya 15 dari 1.000 penduduk atau sekitar 2.784.064 jiwa di Indonesia menderita penyakit jantung. Sementara penyakit kardiovaskular menjadi penyebab kematian nomor satu di dunia. Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, lebih dari 17 juta orang di dunia meninggal akibat penyakit jantung dan pembuluh darah.
Faktor risiko penyakit jantung adalah gaya hidup tak sehat, seperti pola makan tidak seimbang yang tinggi gula, garam, dan lemak, kurangnya aktivitas fisik, dan kebiasaan merokok.
Cut menambahkan, kematian akibat penyakit jantung sebenarnya bisa dicegah, salah satunya dengan deteksi dini. Menurut dia, penyakit tidak menular, seperti penyakit jantung, seperti pembunuh diam-diam yang sebenarnya bisa dideteksi dengan pemeriksaan kesehatan.
Pemeriksaan kesehatan
”Idealnya pemeriksaan kesehatan dilakukan setiap satu tahun sekali, terutama pada orang yang sudah berusia 40 tahun ke atas. Untuk orang yang memiliki faktor risiko, seperti adanya keturunan ataupun gaya hidup tidak sehat harus melakukan pemeriksaan rutin sejak awal,” katanya.
Selain itu, WHO menyebutkan, 25 persen kematian akibat kardiovaskular terjadi lantaran paparan polusi. Merokok hanya satu batang per hari juga berkaitan dengan peningkatan risiko penyakit jantung koroner sebanyak 48 persen.
Menurut dokter spesialis jantung anak dan penyakit jantung bawaan di Rumah Sakit Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, Radityo Prakoso, prevalensi kelainan bawaan pada kasus penyakit jantung tidak banyak, yaitu 8 dari 1.000 kelahiran hidup. Untuk itu, faktor risiko dinilai lebih dominan menyebabkan tingginya angka kesakitan dan kematian pada kasus penyakit jantung.
”Faktor risiko terjadinya jantung bawaan karena adanya kelainan bawaan pada arteri koroner (pembuluh darah pada kantung), kadar kekentalan darah tinggi, ataupun faktor genetika. Namun, penyakit jantung lebih disebabkan faktor yang didapat seperti gaya hidup tidak sehat, serta kadar kolesterol dan gula darah yang tinggi,” katanya.
Ia menambahkan, gaya hidup yang berubah menyebabkan usia pasien serangan jantung semakin muda. Tidak benar jika serangan jantung terjadi karena seseorang melakukan aktivitas berlebihan tanpa adanya penyakit sebelumnya. Untuk itu, pemeriksaan rutin perlu dilakukan untuk mencegah risiko terjadinya serangan jantung.
”Pemeriksaan menyeluruh perlu dilakukan secara rutin yang meliputi wawancara medis, pemeriksaan fisik, rekam jantung, foto toraks (pemeriksaan dada dengan sinar X), dan pemeriksaan laboratorium lainnya,” ujarnya.