Tim peneliti dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi mengembangkan inovasi produk pendamping makanan yang kaya zat besi dengan rasa lezat. Hal itu sebagai bagian dari upaya mengatasi anemia.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·5 menit baca
Pemberian tablet tambah darah untuk mengatasi anemia pada remaja dinilai kurang optimal karena adanya efek samping, seperti rasa dan bau tak enak, serta menimbulkan mual dan pusing bagi sebagian orang. Tim peneliti dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi menawarkan solusi melalui produk pendamping makanan yang kaya akan zat besi dengan rasa lezat.
Anemia menjadi masalah gizi yang mengancam sebagian besar remaja di Indonesia. Penyebab utamanya adalah konsumsi zat besi kurang. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar, pada tahun 2013 prevalensi anemia pada usia 15-24 tahun sebesar 18,4 persen, dan meningkat menjadi 32 persen pada 2018. Angka ini termasuk tinggi karena di atas standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebesar 10 persen.
Pemerintah kini telah melakukan intervensi dengan pemberian tablet tambah darah bagi seluruh anak usia sekolah. Dalam program yang dicanangkan, tablet ini diberikan setiap satu minggu sekali. Namun, data menunjukkan konsumsi tablet tambah darah pada remaja putri sangat minim.
Data Riset Kesehatan Dasar 2018 mencatat, proporsi remaja putri usia 10-11 tahun yang mendapat tablet tambah darah (TTD) hanya 2,7 persen. Sementara, untuk usia 12-15 tahun 25,1 persen, usia 16-18 tahun 34,6 persen, dan usia 19 tahun sebesar 25,5 persen.
Itu pun tidak dikonsumsi rutin setiap minggu dalam satu tahun. Dalam satu tahun hanya 5,4 persen anak usia 12-15 tahun yang memperoleh dan meminum TTD lebih dari 52 butir. Adapun pada usia 16-18 tahun hanya 2,5 persen dan pada usia 19 tahun hanya 1,3 persen. Sebagian besar alasan remaja putri tidak mengonsumsi TTD karena rasa dan baunya tidak enak; merasa tidak perlu; merasakan efek samping, seperti pusing dan mual; serta mengonsumsinya ketika haid saja.
Kondisi itu mendorong sejumlah peneliti dari Pusat Teknologi Agroindustri Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) mengembangkan inovasi produk pendamping makanan yang mampu meningkatkan asupan zat besi pada remaja. Produk yang diberi nama Purula ini dikemas dalam bentuk abon tabur dengan tujuh varian rasa, seperti pedas, jagung, keju, dan bawang.
Direktur Teknologi Agroindustri BPPT Hardaning Pranamuda menjelaskan, purula merupakan produk pendamping makanan pokok untuk meningkatkan asupan zat besi, terutama pada remaja putri, ibu hamil, dan perempuan usia subur. Produk yang sudah dikembangkan sejak tahun 2017 ini telah melewati serangkaian uji coba kandungan gizi dan penerimaan pasar.
Purula dikemas dengan berat bersih 10 gram per bungkus. Dalam satu bungkus mengandung 15,50 persen protein, 62.05 karbohidrat, dan 10,39 persen lemak. Selain itu, kandungan lainnya, seperti 13,27 miligram per kilogram zinc, 1.305,61 miligram per kilogram zat besi, dan 2.236,71 miligram per kilogram kalsium. Kandungan gizi ini sesuai dengan hasil uji IPLAN/Sucofindo pada 2019.
Penyerapan zat besi
”Produk ini juga tinggi serat dan dilengkapi dengan ekstrak daging sapi asli. Dalam satu bungkus Purula, mengandung zat besi dan vitamin, seperti vitamin B1, B2, B3, B6, B12, dan asam folat. Kandungan ini dibutuhkan dalam pembentukan sel darah merah,” kata Hardian.
Selain itu, produk pendamping makanan ini mengandung hidrolisat protein dari kedelai atau biopeptida yang berfungsi meningkatkan penyerapan zat besi dalam darah. Rumput laut yang digunakan sebagai bahan utama produk ini digunakan sebagai penambah rasa yang kaya akan mineral.
Produk ini juga tinggi serat dan dilengkapi dengan ekstrak daging sapi asli. Dalam satu bungkus Purula, mengandung zat besi dan vitamin.
Hardaning menambahkan, dari hasil uji efikasi, konsumsi Purula dapat meningkatkan kadar serum feritrin dan penyerapan zat besi secara signifikan. Bentuknya yang berupa abon tabur pun dinilai lebih menarik dan bisa diterima remaja putri.
”Sebagai produk pendamping makanan dengan variasi rasa beragam diharapkan turut menambah nafsu makan remaja. Tentu, produk ini juga tetap harus diimbangi dengan makanan lain, seperti lauk, sayur, dan buah. Karena itu, saat mengenalkan produk ini juga harus disertai edukasi mengenai gizi seimbang,” ujarnya.
Produk ini pun telah mendapatkan izin edar pangan olahan dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) pada Mei 2019. Pihak BPPT pun sedang mendorong kerja sama dengan industri nasional agar bisa diproduksi secara massal. Bahan baku berupa rumput lautnya pun didapatkan dari hasil budidaya petani rumput laut di Lebak, Banten.
Proses produksi Purula dilakukan dengan menyiapkan badan utama produk ini, yakni rumput laut dan hidrolisat (zat dari pemecahan senyawa kimia dengan penambahan air) dari protein kedelai. Dua bahan itu dicampur ekstrak daging sapi, tepung, dan mineral.
Semua bahan yang dicampur, lalu dikeringkan agar menjadi bentuk serpihan (flake). ”Selanjutnya, flake dicampur vitamin dan perisa alami, baru dikemas menjadi produk akhir Purula,” ucapnya.
Masalah gizi
Secara terpisah, Menteri Koordinasi Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy pekan lalu mengatakan, anemia pada remaja merupakan masalah gizi yang harus segera diselesaikan bersama. Ia mengakui, intervensi yang dilakukan selama ini melalui pemberian tablet tambah darah kurang efektif. Banyak remaja tidak mau mengonsumsi tablet ini karena efek samping yang ditimbulkan.
Anemia bisa mengancam generasi masa depan. Hal itu juga berkaitan dengan masalah tengkes yang menjadi prioritas pemerintah yang harus diselesaikan segera. Dalam jangka pendek, anemia dapat menyebabkan remaja menjadi mudah lesu, letih, menurunkan daya tahan tubuh, dan tidak konsentrasi saat belajar. Dampak jangka panjang, remaja anemia rentan berisiko mengalami kematian saat melahirkan ataupun melahirkan bayi prematur serta bayi dengan berat lahir rendah.
”Memang harus dibahas secara serius bagaimana menyelesaikan masalah anemia remaja ini. Jika ingin menyelesaikan masalah stunting (tengkes), harus dilakukan sejak dari hulu, yaitu pada remaja yang akan menjadi calon ibu kelak. Konsumsi tablet tambah darah yang tidak optimal juga perlu dicarikan solusi yang lebih efektif,” ujarnya.