Antara Kebal dan Bebal Hadapi Korona
Ketika negara tetangga, seperti Singapura, begitu serius, bahkan cenderung panik menghadapi ancaman wabah korona, Indonesia tetap saja ”adem-ayem”. Kondisi ini memicu banyak pertanyaan.
Ketika negara tetangga, seperti Singapura, begitu serius, bahkan cenderung panik, menghadapi ancaman wabah korona, di Indonesia tetap adem-ayem. Virus korona yang telah menginfeksi 40.561 orang dan menewaskan 910 orang di beberapa negara hingga Senin (10/2/2020) seolah tak mengganggu rutinitas masyarakat kita.
Singapura telah menetapkan kode oranye terhadap wabah korona karena dikhawatirkan virus telah menyebar di masyarakat. Peringatan oranye yang berarti wabah dianggap memiliki dampak kesehatan sedang hingga tinggi itu dikeluarkan setelah ada tiga kasus infeksi tanpa hubungan yang diketahui dengan China atau orang yang sudah terinfeksi sebelumnya.
Total sudah 43 kasus positif korona ditemukan di negeri berpenduduk 5,6 juta jiwa ini. Jumlah kasus ini merupakan yang tertinggi di luar China daratan.
”Sekarang setiap hari semua karyawan di kantor kami diperiksa suhunya, pagi dan siang setelah makan,” kata Bowo Mahastu Widhi, arsitek dari Indonesia yang bekerja dan tinggal di Singapura. ”Setelah lolos pemeriksaan, suhu dikasih stiker. Suhu di atas 37,5 derajat celsius tidak diizinkan masuk.”
Baca juga: Dipantau, Orang-orang dengan Riwayat Kontak Sumber Korona
Peningkatan status ini telah meningkatkan kewaspadaan. Pemerintah Singapura, menurut Bowo, telah membagikan masker kepada masyarakat. Kantor-kantor juga diimbau memperketat peraturan, terutama tentang perjalanan bisnis dan memantau asal-usul karyawan dari China daratan.
Tak hanya pemerintah, sekumpulan ahli teknologi informasi di Singapura pun bergerak dengan membuat peta interaktif, https://sgwuhan.xose.net/ yang secara menerus menginformasikan sebaran infeksi di negara itu.
Namun, situasi ini juga memicu kepanikan. Masyarakat Singapura mulai memborong kebutuhan pokok guna mengantisipasi kondisi darurat.
”Hanya di daerah yang banyak orang Melayu, seperti Geylang Serai dan sekitarnya, yang masih terlihat normal. Di masjid sekitar sini, 40 orang mengajak untuk doa bersama,” kata Bowo.
Menurut Alex, kantor wartawan media televisi di Singapura yang berasal dari Malaysia telah bersiap menghadapi situasi pandemik. ”Saya dapat giliran jaga malam besok. Bagaimana kondisi di Indonesia?” ujarnya penasaran.
Wartawan yang telah berulang kali meliput di Indonesia ini terbahak saat diberi tahu kondisi di Jakarta santai-santai saja.Tak ada pemeriksaan suhu dan prosedur darurat pandemik di kantor-kantor. Di ruang publik dan transportasi umum, seperti kereta api, orang-orang juga berperilaku biasa, hanya satu dua yang memakai masker.
”Indonesia rupanya seperti Malaysia, tenang dan santai. Di kampung halaman di Sabah, orang-orang khawatir dengan ekonomi. Sabah bergantung pada wisata, dan semuanya jadi sepi. Jadi, kalau wabah ini berlanjut, dampak ekonominya akan amat besar,” katanya.
Kondisi sosial masyarakat di Indonesia barangkali memang lebih menyerupai Malaysia dibandingkan dengan Singapura. Pemerintah Malaysia telah melaporkan 18 kasus positif virus korona di negeri mereka. Sementara di Indonesia, hingga saat ini belum ada satu pun kasus positif infeksi korona virus yang dilaporkan.
”Agak aneh saja kalau di Indonesia sama sekali enggak ada kasus infeksi,” kata Bowo.
Memicu spekulasi
Tiadanya kasus infeksi virus korona di Indonesia memicu banyak pertanyaan. Penelitian oleh ilmuwan dari Center for Communicable Disease Dynamics, Harvard TH Chan School of Public Health, Boston, Amerika Serikat, yang dipublikasikan di jurnal MedRxiv pada 5 Februari 2020 menyebutkan, Indonesia seharusnya telah memiliki kasus infeksi korona.
Penelitian ini didasarkan pada perkiraan jumlah rata-rata penumpang pesawat dari Wuhan ke kota-kota lain di dunia dalam sehari sebelum diberlakukan larangan terbang. Dengan pemodelan ini, hampir semua negara lain, seperti Jepang, Singapura, Hong Kong, dan Korea Selatan, menunjukkan korelasi jelas antara banyaknya jumlah orang yang tiba dari Wuhan melalui penerbangan harian dan besarnya kasus infeksi korona.
Lebih banyak penumpang yang datang berarti lebih banyak kasus. Namun, hanya Indonesia, Kamboja, dan Thailand yang jauh di bawah perhitungan mereka.
Dalam kajian ini disebutkan, jumlah kunjungan dari Wuhan ke Indonesia sekitar 80 orang per hari, lebih banyak dari sejumlah negara lain yang telah melaporkan kasus infeksi, seperti Inggris, Uni Arab Emirat, Perancis, Kanada, India, Filipina dan Rusia.
Baca juga: Vaksin, Harapan Pencegahan Wabah Virus Korona Jenis Baru
”Indonesia melaporkan nol kasus, tetapi mungkin sebenarnya sudah ada beberapa kasus yang tak terdeteksi,” ujar ahli epidemiologi Marc Lipsitch, salah satu penulis studi ini, kepada VOA News, Jumat (7/2/2020).
Menurut Lipsitch, sistem kesehatan di Indonesia dan Thailand mungkin tidak dapat mendeteksi virus korona Wuhan. Hal ini dapat menciptakan masalah di seluruh dunia. ”Kasus yang tidak terdeteksi di negara mana pun berpotensi menyebarkan epidemi di negara-negara tersebut,” kata Lipsitch.
Indonesia melaporkan nol kasus, tetapi mungkin sebenarnya sudah ada beberapa kasus yang tak terdeteksi.
Meski demikian, kajian Lipsitch dan timnya tetap saja merupakan pemodelan. Hingga Senin, Litbang Kementerian Kesehatan Indonesia telah memeriksa 62 spesimen pasien yang diduga terinfeksi korona. Sebanyak 59 dinyatakan negatif dan 3 masih diproses.
”Dari spesimen dan sampel yang diperiksa, hasilnya selalu negatif,” ujar Sekretaris Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes Achamd Yurianto (Kompas, 8/2/2020).
Dokter yang juga Guru Besar Mikrobiologi IPB Sri Budiarti mengatakan, tiadanya kasus infeksi di Indonesia bisa mengundang banyak kemungkinan. ”Untuk saat ini kita harus percaya pemerintah sebagai sumber resmi, memang belum ada kasus infeksi. Kalau memang ada yang positif, seharusnya sudah diumumkan," katanya.
Namun, bisa saja virusnya sudah masuk dan bersirkulasi di masyarakat, tetapi tidak menimbulkan gejala sakit karena imunitas masyarakat. ”Virus korona galur lain juga sudah lama ada di Indonesia,” ujarnya.
Peneliti Pusat Studi Satwa Primata Institut Pertanian Bogor (IPB) Joko Pamungkas melaporkan, ada virus korona pada kelelawar dan masyarakat di Sulawesi. Sekalipun demikian, virus korona ini berbeda dengan 2019-nCoV yang memicu wabah global ini.
Sebagai negara tropis dan lembab, masyarakat Indonesia pasti sudah terpapar dengan banyak mikroba, termasuk berbagai virus. ”Budaya makan dengan tangan, misalnya, secara tidak langsung memasukkan aneka mikroorganisme ke tubuh. Tidak semuanya buruk, bahkan bisa turut memacu kekebalan tubuh,” ujarnya.
Demikian halnya, kondisi lingkungan tropis yang berlimpah matahari, juga bisa menjadi pelindung merebaknya virus korona ini. ”Virus korona ini hanya genom RNA yang dibungkus protein. Protein ini akan rusak kalau kena ultraviolet matahari sehingga virusnya bisa tidak akif,” ujarnya.
Maka dari itu, dulu wabah SARS bisa diatasi setelah memasuki musim panas, sekitar Juli 2003. ”Dulu virus korona pemicu SARS juga dampaknya di Indonesia tidak separah negara lain,” katanya.
Pendekatan sains
Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Kementerian Riset dan Teknologi Amin Soebandrio mengatakan, soal kekebalan dan kondisi tropis yang berlimpah matahari ini masih harus dibuktikan secara ilmiah. ”Sampai saat ini kita belum punya cukup informasi mengenai sifat-sifat 2019-nCoV, termasuk kepekaannya terhadap klim dan juga bagaimana daya imun masyarakat terhadap virus ini,” katanya.
Wacana kekebalan masyarakat terhadap virus korona ini sebenarnya telah dipatahkan dengan ditemukannya orang Indonesia yang terinfeksi korona di Singapura. Sementara dugaan sirkulasi virus korona di dalam negeri kini diuji dengan adanya perempuan dari Kanada yang diduga terinfeksi korona sepulang dari Indonesia. Saat ini, pasien masih diperiksa sehingga belum disimpulkan.
Pendekatan sains, menrut Amin, harus dikedepankan dalam menghadapi wabah virus korona seperti saat ini sebab keterlambatan penanganan akan memicu bencana.
Sebagai contoh, untuk meyakinkan publik, menurut Amin, pemeriksaan spesimen oleh Litbang Kesehatan bisa diverifikasi oleh laboratorium independen lain untuk uji silang. ”Terkait hal ini, Eijkman juga sudah siap dan telah mengajukan untuk menjadi lab pembanding,” kata Amin.
Tanpa sains, masyarakat akan dilanda kebingungan, dan akhirnya dilanda panik. Situasi ini tecermin dengan menghilangnya masker di pasaran sehingga harganya melonjak. Harga masker yang dulu hanya ribuan rupiah kini di sejumlah toko daring menjadi ratusan ribu rupiah. Ini membuktikan masyarakat Indonesia menyimpan kepanikan.