Lokasi banjir dan longsor di daerah Lebak Banten secara alami merupakan wilayah rentan bencana. Tata ruang penempatan permukiman warga perlu ditinjau ulang.
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Lokasi banjir dan longsor di daerah Lebak, Banten, secara alami merupakan wilayah rentan bencana. Lokasi permukiman yang berada di sepanjang aliran sungai dengan lereng sekitarnya curam menjadikan daerah itu mudah tersapu bencana hidrometeorologi ketika terjadi curah hujan tinggi.
Lokasi kejadian bencana yang berada di Daerah Aliran Sungai Cidurian dan Ciujung juga berada di dalam dan di luar Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS). Sebagian wilayah TNGHS ini telah terbuka akibat aktivitas pertambangan emas skala kecil (PESK) atau pertambangan emas tanpa izin (PETI). Sebagian lainnya yang merupakan eks konsesi Perum Perhutani, sejak bertahun-tahun telah berubah menjadi areal pertanian dan perkebunan.
Analisis peta yang dilakukan Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menunjukkan terdapat areal tak berhutan di dalam kawasan taman nasional dan hutan lindung seluas 2.300 hektar di DAS Cidurian dan sekitar 7.000 ha di DAS Ciujung. Secara umum, hutan di DAS Cidurian hanya 7 persen (6.000 ha) dan bukan hutan 80.000 ha (93 persen) serta hutan DAS Ciujung hanya 14 persen (30.000 ha) dan bukan hutan 185.000 ha (86 persen).
Baca juga: Kabupaten Lebak Perpanjang Tanggap Darurat Dua Pekan
Direktur Inventarisasi Ditjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan KLK Belinda Margono, Rabu (15/1/2020), di Jakarta, memaparkan, di dua DAS itu terdapat PETI. Ia menyebutnya sebagai ”kampung biru” karena tempat singgah maupun basecamp para penambang tersebut menggunakan atap terpal biru yang tampak dari citra satelit.
Ia mengatakan, lanskap DAS setempat menunjukkan kerawanan bencana yang amat tinggi. Karena itu, selain membenahi mutu tutupan hutan dan menghentikan aktivitas PETI, ia mendorong agar ada peninjauan tata ruang daerah dengan memasukkan analisis lanskap serta risiko dan data/informasi/peta bencana.
Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem KLHK Wiratno menambahkan di TNGHS terdapat 15.000 ha area terbuka (nonhutan). Ia sedang mengupayakan pendekatan sistem agroforestri melalui kemitraan konservasi dengan masyarakat setempat.
Terkait masyarakat yang tinggal di dalam TN serta rawan longsor dan banjir, pemerintah sedang mencari lokasi alternatif untuk permukiman. Lokasi ini bisa merupakan eks-izin hak guna usaha.
Sementara terkait upaya rehabilitasi hutan dan lahan, Sekretaris Ditjen Pengendalian DAS dan Hutan Lindung KLHK Juliarto Joko Putranto menambahkan, saat ini pihaknya dalam tahap pengadaan bibit yang dilakukan secara penunjukan langsung. Itu didasarkan pada kondisi darurat bencana yang ditetapkan Bupati Bogor dan Bupati Lebak.
Pihaknya telah memiliki 400.000 bibit dari kebutuhan 1,2 juta bibit untuk merehabilitasi 1.900 ha areal hutan di TNGHS dan 600 ha di lahan non-kawasan hutan atau area penggunaan lain (APL). Penanamannya dikerjakan bersama masyarakat setempat dan TNI. Pihaknya pun membangun 38 kebun bibit daerah yang tiap kebun bibit bisa menghasilkan 60.000 batang tanaman.
Selain penanaman, ia mempersiapkan pembangunan bangunan konservasi tanah dan air berupa dam penahan, penguat tebing, dan penananam rumput vetiver. Targetnya, seluruh upaya ini pungkas pada Maret nanti sesuai dengan instruksi dari Presiden Joko Widodo.
Terkait rumput vetiver, ia mengatakan, rumput vetiver juga akan digunakan pada—pinggiran TNGHS yang longsor atau terdapat tebing curam. Adapun terkait dengan risiko invasif, hal tersebut telah dipertimbangkan. ”Ini sementara kondisi darurat agar cepat menutup tanah untuk mengurangi erosi,” katanya.
Penutupan lokasi
Menurut Dirjen Wiratno, pihaknya secara tegas menutup aktivitas PETI dan memastikan para petambang itu tak kembali lagi ke lokasi. ”Kami mendapatkan dukungan dari bupati, pemda, dan aparat lain bahwa aktivitas PETI harus ditutup karena sangat berbahaya,” katanya.
Selain membahayakan diri petambang karena penambangan dilakukan manual dengan membuat gorong-gorong atau jalan tikus kedalaman belasan meter di bawah tanah, aktivitas mereka membahayakan permukiman di hilir. Aktivitas PETI itu bisa memicu longsor serta penggunaan merkuri untuk mendapat bijih emas berisiko mencemari lahan pertanian dan menurunkan mutu lingkungan setempat. ”Nanti, penegakan hukum harus dijalankan itu,” ungkapnya.
Kami mendapatkan dukungan dari bupati, pemda, dan aparat lain bahwa aktivitas PETI harus ditutup karena sangat berbahaya.
Wiratno menambahkan, pihaknya bersama jajaran Ditjen Penegakan Hukum serta pemda pada Juli 2019 telah menutup aktivitas penambangan emas ilegal di Cikidang, masih di TNGHS. Namun, risiko PETI beraktivitas kembali juga diakuinya. Dicontohkan, operasi PETI di TNGHS juga pernah dilakukan tahun 1993 dengan cara menghancurkan lubang-lubang/gorong/gorong tambang.
Saat ini, menurut data Ditjen KSDAE KLHK, terdapat 36 lokasi PETI di dalam dan sekitar kawasan TNGHS. Sejumlah 21 lokasi berada di Lebak, 12 lokasi di Bogor, dan 3 lokasi di Sukabumi.