Undang Undang Sapu Jagat Rentan Perparah Dampak Lingkungan dan Konflik
Penyusunan undang undang sapu jagat mesti membuka ruang partisipasi warga. Itu diperlukan agar perundangan ini tak memperparah dampak lingkungan dan meningkatkan eskalasi serta menciptakan konflik baru di masyarakat.
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS—Penyusunan undang-undang Cipta Lapangan Kerja atau dikenal dengan Omnibus Law atau undang undang sapu jagat agar dilakukan terbuka dan membuka partisipasi publik. Konsultasi dengan masyarakat diperlukan agar perundangan ini tak memperparah dampak lingkungan maupun meningkatkan eskalasi dan menciptakan konflik baru di masyarakat.
Aturan perundangan agar tak disusun semata-mata dari kacamata kalangan pengusaha tetapi juga masyarakat pada skala luas. Penyusun perundangan pun diminta melihat dan memelajari fakta di lapangan agar tak semena-mena menghapuskan sejumlah pasal yang dinilai menghalangi investasi.
“Tugas Omnibus Law ini seolah-olah mencabuti begitu saja pasal-pasal yang menghambat investasi. Tetapi bagaimana dengan pasal-pasal yang terkesan menghambat investasi, tapi sebenarnya penting,” kata Hariadi Kartodihardjo, Guru Besar Kehutanan IPB University, Selasa (14/1/2020) di Jakarta, seusai Simposium Nasional Reforma Agraria Implies Kehutanan.
Dari rancangan draft yang beredar dan didapatkannya, Hariadi menunjukkan pasal-pasal terkait lingkungan turut “disederhanakan”. Jika draft itu disetujui, terminologi izin lingkungan dihilangkan dan izin lingkungan tak lagi menjadi syarat penerbitan izin usaha.
Perundangan yang sedang disusun itu pun menempatkan analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) dan uji kelayakan lingkungan hanya untuk kegiatan yang berisiko tinggi. “Ini yang dimaksud berisiko tinggi itu seperti apa? Pembangunan nuklir? Atau misal tambang dengan luasan tertentu?” kata dia.
Tugas Omnibus Law ini seolah-olah mencabuti begitu saja pasal-pasal yang menghambat investasi. Tetapi bagaimana dengan pasal-pasal yang terkesan menghambat investasi, tapi sebenarnya penting.
Kemudian, yang juga menjadi sorotannya yakni pembatasan pelibatan masyarakat. Menurutnya praktik yang ada saat ini saja, pelibatan warga dalam penyusunan Amdal hanya dilakukan pemrakarsa proyek secara administratif. Hal-hal yang memastikan masyarakat mengetahui rincian operasi kegiatan usaha dan dampaknya tak dikerjakan serius.
Sejumlah kelemahan
Hariadi pun mengakui pada penyusunan Amdal terdapat sejumla kelemahan yang disebutnya moral hazard. Namun hal itu bukan berarti Amdal-nya yang bermasalah, tetapi pejabat maupun lembaga penyusun/pengawas amdal yang memiliki masalah terkait birokrasi, korupsi, dan administrasi.
Ia mencontohkan kasus Kendeng terkait pembangunan pabrik semen di Rembang, Jawa Tengah. “Bayangkan saja Kendeng, ada partisipasi saja tidak cocok antara Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). Terus kalau partisipasi dibuang, apa tidak konflik (makin tinggi) itu, harusnya kualitas partisipasi publik ditingkatkan,” kata Hariadi.
Dari aspek kehutanan, ia menyebutkan draft Omnibus Law yang diterimanya menghilangkan proses penunjukan dan tata batas dalam pengukuhan kawasan hutan. Prosesnya langsung ke pemetaan dan penetapan. Pemetaan itu memakai sistem elektronik.
Dari kacamata pengusaha, hal ini membantu memotong birokrasi yang mahal. Namun ia mempertanyakan dampaknya bagi masyarakat lokal bila tidak ada tata batas. “Tata batas itu juga terkait sosial masyarakat. Kalau itu dihilangkan malah jadi trade off terhadap investasi. Niat awal bagus dan inovatif, tapi kemudian terjadi risiko yang ditanggung juga oleh investor,” katanya.
Seharusnya, ada perbaikan sistem tata batas yang diduga rentan praktik korupsi dan kelemahan birokrasi/kelembagaan di pemerintahan. “Lah mbok dilihat dulu kenapa itu menghambat investasi, kenapa langsung dicabut. Jangan-jangan permasalahan ada pada birokrasi dan kelembagaaan yang korup," ujarnya.
Hariadi mengakui kritik dan masukannya ini didasarkan dari bacaan pada draft Omnibus Law yang diterimanya. Ia berharap pemerintah membuka diri seluas-luasnya pada keterlibatan masyarakat dalam penyusunan RUU tersebut. “Pemerintah dan DPR agar melihat fakta masalah agar jangan beranjak dari lapangan,” ungkapnya.
Sementara Dianto Bachriadi, peneliti senior pada Agrarian Resources Center (ARC) memertanyakan undang undang sapu jagat yang disusun itu akan menjadi jalan keluar bagi reforma agraria. Saat ini undang undang sapu jagat dinilai hanya melihat masalah secara umum berupa hambatan investasi. Padahal, dinamika di lapangan amat luar biasa.
Reforma agraria di Indonesia menurutnya sudah sangat darurat dilakukan. Sebab, angka ketimpangan pemilikan/pengelolaan lahan di Indonesia telah mencapai angka 0,7. Itu ditambah dengan data BPS yang dikutipnya, sejumlah 56 persen petani di Indonesia menguasai lahan kurang dari setengah hektar.
Ia berharap terobosan hukum yang dilakukan pemerintah itu mempermudah warga dalam memperoleh lahan. Contohnya, sekitar 21.000 desa di sekitar kawasan hutan yang terjepit. Desa-desa itu berstatus ilegal karena berada di kawasan hutan. Dampaknya, masyarakat kesulitan mendapatkan bantuan maupun akses pendanaan untuk pengembangan usaha.