Jatam Dorong KPK Giatkan Lagi Gerakan Nasional Penyelamatan SDA
Upaya perbaikan tata kelola tambang melalui program Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam tampak pada periode 2014-2019. Namun, setelah itu KPK dilemahkan dan program itu tak lagi jadi perhatian.
Oleh
Ichwan Susanto
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jaringan Advokasi Tambang mendorong agar komisioner baru Komisi Pemberantasan Korupsi terus melanjutkan program Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam yang di antaranya menyasar isu perbaikan tata kelola tambang. Langkah ini penting karena program yang dilakukan sebelumnya telah menunjukkan perbaikan tata kelola tambang, tetapi belum tuntas.
Apabila program ini tidak dilanjutkan, pengelolaan tambang dikhawatirkan kembali memburuk sehingga sumber daya alam yang tak dapat diperbarui tersebut tereksploitasi masif tanpa membawa manfaat bagi negara. Jatam menilai, perbaikan tata kelola tambang tersebut tinggal menyasar pemain-pemain besar pertambangan pemilik kontrak karya dan perjanjian karya pertambangan batubara (PKP2B).
”Sayangnya baru berjalan sampai 2019, KPK dilemahkan dan GNPSDA tak lagi jadi perhatian,” kata Merah Johansyah, Koordinator Nasional Jatam, Minggu (12/1/2020), di Jakarta.
Sayangnya baru berjalan sampai 2019, KPK dilemahkan dan GNPSDA tak lagi jadi perhatian.
Program GNPSDA yang menyasar isu perkebunan, sawit, dan tambang tersebut dilakukan KPK dengan menggandeng kementerian/lembaga terkait sejak 2014. Hasilnya pada isu-isu ini terdapat sejumlah penegakan hukum serta rekomendasi-rekomendasi perbaikan tata kelola dengan merevisi sejumlah aturan dan memperkuat sejumlah sistem pengawasan.
Menurut Merah, reformasi tambang yang dikoordinasi KPK sejak 2014 masih menyasar pada sejumlah izin-izin usaha pertambangan (IUP) yang diterbitkan oleh pemerintah daerah (pemerintah provinsi). Sementara izin-izin besar berstatus kontrak karya (KK) dan PKP2B belum sempat tersentuh.
Padahal, izin-izin warisan Orde Baru tersebut berlangsung panjang dan memiliki luasan konsesi yang sangat masif. Seperti Berau Coal seluas 120.000 hektar yang hampir dua kali luas Kota Samarinda dan Freeport Indonesia seluas 200.000 hektar yang setara luas Kabupaten Bogor.
Pada tahun 2014 GNPSDA menangani ketelanjuran dampak otonomi daerah berupa obral izin tambang yang terjadi sejak tahun 2002. Berdasarkan catatan Jatam, puncak pemberian izin pernah mencapai 11.000 izin kuasa pertambangan dengan jumlah izin terbanyak di Kaltim yang mencapai 1.800 izin.
”Pemberian izin tak terkontrol karena menjadi sumber pembiayaan politik,” kata Merah.
Hasil evaluasi yang dipimpin KPK dengan menggandeng 12 kementerian/lembaga tersebut mendapati sejumlah temuan mencolok, seperti perusahaan yang tak memiliki NPWP. Kementerian Keuangan kemudian memperbaiki tata kelola tambang agar kegiatan usaha tersebut mendatangkan keuntungan bagi negara, seperti peningkatan PNBP, royalti, dan pajak.
Kementerian ESDM pun melakukan evaluasi dan verifikasi dengan menggolongkan kegiatan tambang dengan clean and clear (CNC) dan non-CNC. Kategori CNC tersebut pada kepatuhan keuangan, tata ruang, tumpang tindih, lingkungan, administratif, dan jaminan reklamasi. Sementara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga digandeng untuk memetakan perusahaan yang beroperasi di kawasan hutan, termasuk ketaatan memiliki izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH).
Upaya perbaikan tata kelola tambang melalui GNPSDA tersebut tampak pada periode 2014-2019. Ia mengkhawatirkan apabila program KPK tersebut dihentikan, isu pertambangan menjadi longgar sehingga reformasi perbaikan tata kelola tambang malah berjalan mundur.
Apalagi, kata Merah, saat ini pemerintah masif meningkatkan investasi tambang melalui koordinasi yang dijalankan Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi. Tambang nikel sebagai bahan utama pembuatan batu baterai mobil listrik saat ini digenjot.
Hal-hal tersebut di antaranya dikhawatirkan menyasar pulau-pulau kecil yang tersebar di Indonesia bagian timur yang memiliki cadangan bijih nikel. Saat ini saja, kata dia, terdapat 165 konsesi pertambangan di atas 55 pulau-pulau kecil di Indonesia. Dari 55 pulau tersebut, sejumlah 22 pulau merupakan konsesi nikel.
Bukan saja dampak langsung berupa kerusakan pulau yang berdampak pada keberadaan masyarakat setempat, operasional tambang di pulau kecil tersebut juga mengancam kehidupan pantai dan laut setempat. Sejumlah praktik pertambangan di pulau kecil menunjukkan erosi sedimen hasil pembukaan lapisan tambang menimbulkan kematian bagi ekosistem pesisir, seperti terumbu karang, lamun, dan mangrove.
Bukan saja dampak langsung merusak pulau yang berdampak pada keberadaan masyarakat setempat, operasional tambang di pulau kecil juga mengancam kehidupan pantai dan laut setempat.
Selain itu, ancaman lain yang muncul, yaitu pembuangan limbah tailing hasil pengolahan industri tambang. Keterbatasan lokasi membuat pengelola usaha maupun pemerintah menempatkan limbah tailing tersebut ke dasar laut. Hal ini dikhawatirkan menimbulkan permasalahan karena keterbatasan kajian laut dalam pengambilan keputusan dan penyusunan aturan.
Bekas tambang
Secara terpisah, Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Alue Dohong mendorong agar pemerintah daerah rutin dan tegas mengawasi kegiatan tambang, terutama tambang ilegal, di daerah masing-masing. Ia mencontohkan praktik tambang ilegal di Lebak, Banten, agar dilakukan penegakan hukum.
”Kita memang mau menurunkan penegak hukum. Namun, jangan segala sesuatu KLHK semua yang mengerjakan. Pemda yang atur wilayah dan bagian masyarakatnya juga harus turun,” ujarnya.
Alue mengatakan, Indonesia telah memiliki contoh penyelesaian tambang ilegal di Gunung Botak, Pulau Buru, Maluku. Ia mengatakan lokasi-lokasi yang telanjur ditambang tersebut mulai direklamasi dengan melibatkan masyarakat setempat agar mendapatkan manfaat tambahan.