Undang Undang Sapu Jagat Bakal Perparah Krisis Lingkungan
Rencana pemerintah untuk mempermudah investasi melalui Undang Undang Sapu Jagat atau Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja dikhawatirkan memperparah krisis ekolog
Oleh
Ahmad Arif
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS—Frekuensi dan skala bencana banjir dan longsor yang terus meningkat menandai terjadinya krisis ekologi. Rencana pemerintah untuk mempermudah investasi melalui Undang Undang Sapu Jagat atau Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja dikhawatirkan memperparah krisis ekologi dan berpotensi meningkatkan risiko bencana terkait iklim.
"Data BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) dalam lima tahun terakhir menunjukkan, jumlah bencana, jenis dan korban, serta wilayahnya terus meningkat," kata Guru Besar Kehutanan Institut Pertanian Bogor Hariadi Kartodiharjo, dalam diskusi yang diadakan Thamrin School of Climate Change and Sustainability di Jakarta, Jumat (10/1/2020).
Menurut Hariadi, dalam setiap bencana selalu ada analisis pascakejadian, namun setelah itu hilang dan akar persoalannya tidak pernah dikaji secara serius. Padahal, bencana alam yang terjadi ini telah dinilai menandai adanya krisis ekologi. "Di sisi lain, terjadi ketidakpastian keputusan politik antara keinginan untuk meningkatkan laju investasi dengan mengabaikan perlindungan lingkungan," katanya.
Pengelolaan sumber daya alam di Indonesia bermasalah dari aspek lingkungan maupun sosial. Kapasitas dan daya dukung lingkungan juga memburuk. "Saat ini kondisi lingkungan kita sudah krisis, dalam artian sudah harus menjadi prioritas karena daya dukung sudah terlampaui," kata Hariadi.
Banjir yang terjadi di sejumlah daerah di awal Januari ini dan kebakaran hutan yang melanda tahun 2019 lalu menandai memburuknya daya dukung lingkungan ini. Sekalipun krisis iklim berperan memicu curah hujan ekstrem, bencana alam lebih disebabkan krisis ekologi ini.
Krisis ekologi itu antara lain disebabkan kita gagal membangun dengan dasar karakteristik wilayah. "Mestinya tiap daerah ada hukum untuk menjaga lingkungan. Misalnya, daerah resapan air ya, jangan dijadikan hunian. Dalam kasus Jakarta dan daerah lain, hal ini kerap dilanggar," ujarnya.
Di sisi lain, upaya pengendalian melalui Analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) dan kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) sering bersifat prosedural, bahkan diwarnai korupsi. Kajian yang dilakukannya menemukan, banyak penyusun Amdal di daerah uang menggunakan sertifikat fiktif.
" Sertifikat penyusun Amdal di Jawa Barat dan Jakarta banyak digunakan secara fiktif di tempat lain, khususnya di Indonesia timur, tanpa ada pemegang sertifikat. Sertifikat fiktif ini tarifnya Rp 6-18 juta per sertifikat," kata dia.
Sertifikat penyusun Amdal di Jawa Barat dan Jakarta banyak digunakan secara fiktif di tempat lain, khususnya di Indonesia timur. Sertifikat fiktif ini tarifnya Rp 6-18 juta per sertifikat.
Secara terpisah, Koordiantor Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Merah Johansyah menilai, upaya pemerintah mempermudah investasi bakal memperparah krisis ekologi dan konflik sosial di Indonesia. "Ketika Pak Jokowi menyatakan akan menggenjot investasi, artinya lingkungan akan kembali dikorban. Itu makin terlihat saat ini," ucapnya.
Merah mencontohkan rencana pemrosesan izin tambang nikel di pulau kecil, sepeti Pulau Obi di Maluku Utara dan limbahnya akan dibuang di laut dalam. Upaya ini dinilai berisiko besar terhadap lingkungan dan bisa memicu bencana.
Omnibus Law
Hariadi mengingatkan, rencana pemerintah untuk mempermudah investasi melalui Undang Undang Sapu Jagat atau Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja bisa memperburuk krisis ekologi, selain konflik sosial. Fakta di lapangan, banyak sekali tumpang tindih izin usaha sumber daya alam dengan kehutanan. Oleh karena itu, untuk membuat izin yang benar mestinya tidak bisa dipercepat.
Setidaknya ada tujuh poin substansi dalam draft Omnibus Law yang perlu dikritisi antara lain, terminologi izin lingkungan yang dihilangkan dan tidak menjadi syarat penerbitan izin usaha. Berikutnya, pengaturan ulang mekanisme penilaian Amdal atau uji kelaikan oleh Komisi yang diusulkan pihak keiga dengan penunjukan oleh pelaku usaha. "Ini rentan memicu konflik kepentingan," katanya.
Berikutnya, penerapan Amdal dan Uji Kelayakan Lingkungan hanya untuk kegiatan berisiko tinggi, sedangkan yang dianggap berisiko rendah bisa tanpa Amdal dan Uji Kelayakan. Hingga saat ini kriteria kegiatan berisiko tinggi ini belum jelas. Selain itu, Omnibus Law dinilai berupaya membatasi pelibatan warga dan pelanggaran perizinan tak masuk ranah pidana, tapi hanya akan mendapat sanksi administrasi.
Saat ini, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia tengah menyelesaikan draf Revisi Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja sebelum akhirnya bakal diajukan sebagai program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas DPR RI di tahun sidang 2020 ini.