Setiap orang bisa membantu mengatasi dampak perubahan iklim dari meja makan. Salah satunya upaya mengurangi konsumsi daging merah melalui inovasi produk makanan berbahan nabati.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
Perubahan iklim merupakan masalah global dan solusi untuk mengatasinya butuh kolaborasi antarnegara untuk menurunkan gas rumah rumah kaca. Namun, persoalan ini juga menjadi urusan individu dan setiap orang bisa membantu mengatasi masalah ini sejak dari meja makan.
Sekitar 40 persen emisi global disumbang pangan, terutama dari sektor peternakan dengan peringkat penghasil emisi ketujuh dunia dengan total emisi 14,5 persen. Laporan International Livestock Research Institute menyebut, 45 persen lahan di bumi untuk menumbuhkan rumput dan pakan ternak, padahal infrastruktur jalan dan bangunan hanya memakai 1 persen.
Degradasi lahan besar-besaran di hutan hujan tropis Amazon, dan baru-baru ini dilanda kebakaran hebat, terutama karena ekspansi lahan untuk menggembalakan ternak. Meningkatnya permintaan daging menyebabkan hutan seluas Amerika Selatan ditebangi seperempat abad terakhir dan mengubah penyerap karbon jadi pencemar karbon.
Sektor peternakan juga butuh sepertiga dari semua air tawar. Padahal, perubahan iklim membuat ketersediaan air bersih makin terbatas. Sementara konsumsi produk hewani di dunia meningkat.
Rekayasa genetika
Dengan inovasi menciptakan ”daging” berbahan baku tanaman, perusahaan teknologi makanan dari Silicon Valley, Impossible Foods, menerima penghargaan PBB dalam Konferensi Para Pihak Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC-COP) kee-25 di Madrid, Spanyol, Selasa (10/12/2019).
Penghargaan bagi Aksi Global untuk Iklim (Global Climate Action Award) itu diberikan kepada 15 organisasi di dunia dan menyoroti contoh paling praktis untuk mengatasi perubahan iklim. Impossible Foods memenangi penghargaan dalam kategori kesehatan planet yang menyoroti solusi dengan menyeimbangkan kebutuhan manusia dan kesehatan planet.
”Bertindak cepat mengurangi pemakaian hewan dalam sistem pangan menghindarkan kita dari bencana ekologis,” kata Patrick Brown, profesor emeritus biokimia dari Stanford University School of Medicine, sekaligus pendiri Impossible Foods, saat menerima penghargaan itu.
Bertindak cepat mengurangi pemakaian hewan dalam sistem pangan menghindarkan kita dari bencana ekologis.
Selain jadi penyumbang emisi, konsumsi makanan berbasis daging, khususnya daging merah, meningkatkan risiko kesehatan, termasuk kanker. Namun, daging hewan telah lama jadi diet manusia dan rasanya yang khas sulit digantikan. Brown mengaku penyuka daging merah. Dengan pertimbangan rasional, ia berupaya menciptakan makanan berbasis tanaman dengan rasa selezat daging lewat eksperimen di laboratorium.
Setelah riset panjang, pada tahun 2011, Brown dan tim mengekstraksi molekul heme yang bertanggung jawab atas ledakan rasa saat daging dimasak. Heme ditemukan di akar tanaman kedelai dan produk tanaman lain.
Para ilmuwan Impossible Foods merekayasa dan melakukan fermentasi ragi secara genetis demi menghasilkan protein heme. Secara alami, protein itu ditemukan pada tanaman leghemoglobin kedelai.
Sukses di pasaran
Produk mereka yang sukses di pasaran, yakni Impossible Burger, dibuat tanpa unsur daging. Sejak diluncurkan pada 2016, produk itu disajikan di lebih dari 17.000 restoran di sejumlah negara, termasuk disediakan di gerai makanan cepat saji konvensional.
Burger berbahan nabati ini tumbuh pesat. Menurut The Guardian, tahun lalu, pasar daging olahan hanya tumbuh 2 persen dengan nilai hampir 30 miliar dollar AS, sedangkan pasar daging alternatif tumbuh hingga 22 persen senilai 1,4 miliar AS.
Dari segi harga, burger berbahan baku nabati lebih mahal 1 dollar AS daripada yang berbahan daging. Kesuksesan bisnis mereka ada pada narasi melawan perubahan iklim dan kesehatan. Sejumlah pesohor dunia, seperti Bill Gates, turut menanamkan sahamnya.
Dalam paparan di COP 25, dibandingkan burger daging sapi tradisional, Impossible Burger membutuhkan 96 persen lebih sedikit air tanah, 87 persen lebih sedikit air, dan menghasilkan 89 persen lebih sedikit emisi gas rumah kaca. Dengan narasi ini, produk itu menarik lebih banyak nonvegetarian daripada sebelumnya. Tahun 2016, persentase nonvegetarian yang memesan burger mereka naik dari 75 persen menjadi 90 persen.
Meski diklaim lebih ramah lingkungan, produk daging tiruan mendapat banyak kritik. Carolyn Mattick, profesor lingkungan dari Arizona State University dalam paper-nya di jurnal Environmental Science and Technology, mengkritik panjangnya pengolahan daging buatan sehingga jejak karbonnya lebih panjang. Pangan paling ramah bagi iklim memiliki proses pengolahan dan rantai distribusi paling pendek.
Bagaimanapun burger tanpa unsur daging itu memberi pilihan produk pangan berbasis teknologi. Di Indonesia, secara tradisional, warga memiliki sumber pangan berprotein tinggi, yakni tempe. Dengan teknologi baru, tempe bisa jadi sumber pangan lokal untuk masa depan sehat dan ramah iklim.