Indonesia Perluas Wilayah Perairan di Tiga Lokasi
Meski telah memiliki wilayah lautan yang amat luas, Indonesia yang disebut juga sebagai Benua Maritim ternyata masih berpotensi memperluas wilayah perairannya, yaitu di landas kontinen. Bagaimana hal itu bisa terjadi?
Sebagai negeri kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki hamparan laut seluas 6,4 juta kilometer persegi atau 77 persen dari total wilayahnya. Perairan di Nusantara ini bahkan lebih luas dari daratan Asia Barat—6,2 juta kilometer persegi—yang di atasnya berdiri 19 negara.
Laut negeri bahari yang begitu luas ini terdiri dari landas kontinen, laut teritorial, dan zona ekonomi ekslusif (ZEE). Meski telah memiliki wilayah lautan yang amat luas, Indonesia yang disebut juga sebagai Benua Maritim ternyata masih berpotensi memperluas wilayah perairannya, yaitu di landas kontinen. Mengapa hal itu dapat terjadi?
Landas kontinen secara fisik akan cenderung bertambah akibat proses deformasi geologis di dasar laut, yaitu di zona subduksi lempeng samudra terhadap lempeng benua. Di bawah perairan Indonesia terdapat zona pertemuan tiga lempeng dunia, yaitu Eurasia, Indo-Australia, dan Pasifik—yang saling mendesak.
Proses tektonik inilah yang menyebabkan terjadinya perubahan topografi dasar laut di zona pertemuan lempeng tersebut. Zona ini merupakan ujung dari landas kontinen yang menjadi ”tumpuan” bagi kepulauan di Nusantara.
Berdasarkan ketentuan hukum laut internasional, yaitu Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) tahun 1982, suatu negara dapat memiliki landas kontinen hingga 200 mil laut. ”Klaim perpanjangan landas kontinen dapat disampaikan ke PBB dalam hal ini United Nations-Commission on the Limits of Continental Shelf (UN-CLCS) disertai dengan bukti-bukti ilmiah,” papar Ade Komara Mulyana, Kepala Pusat Pemetaan Batas Wilayah Badan Informasi Geospasial (BIG).
Indonesia dapat mengajukan klaim ekstensi landas kontinen karena telah meratifikasi konvensi tersebut. Usulan klaim ekstensi landas kontinen dapat dilakukan untuk dua kondisi, yaitu pertama, klaim tambahan maksimum 350 mil laut (648,2 km) dari garis pangkal, dan kedua, memperluas batas landas kontinennya sampai 100 mil laut (185,2 km) dari garis isobat atau yang memiliki kedalaman laut 2.500 meter.
Penarikan batas landas kontinen itu diperbolehkan dengan salah satu syarat, yaitu jaraknya tidak lebih dari 60 mil laut (111,12 kilometer) atau ketebalan sedimennya tak kurang dari 1 persen jaraknya ke kaki lereng landas kontinen. Usulan klaim dapat diajukan kepada UN-CLCS dengan bukti ilmiah berupa survei batimetri di lapangan. Selain itu, tidak berbenturan atau tidak berbatasan dengan landas kontinen negara lain dalam jarak 200 mil. Usulan itu selanjutnya akan dikaji oleh UN-CLCS untuk kemudian mengeluarkan rekomendasinya.
Ekstensi LKI Aceh
Penambahan luas wilayah perairan Nusantara ini berpotensi dicapai di tiga lokasi, yaitu pada landas kontinen yang berada di perairan barat Aceh, utara Papua, dan selatan Pulau Sumba. Temuan itu berdasarkan desktop study atau studi pendahuluan sebelum dilakukan investigasi fisik terinci di lapangan.
Sejak 2005 hingga 2019, survei kedalaman laut atau batimetri telah dilakukan di barat Aceh dan utara Papua. Pembuktian adanya potensi perluasan landas kontinen di perairan barat Aceh dilakukan dua bulan pascatsunami Aceh, 26 Desember 2004.
Survei batimetri diprakarsai Bakosurtanal (kini BIG) dengan membentuk Tim Penyelenggara Survei dan Kajian Landas Kontinen Indonesia di luar 200 Mil Laut. Tim ini terdiri dari 13 instansi (kementerian dan lembaga), perguruan tinggi, perusahaan dan asosiasi terkait, termasuk Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
Setelah survei pertama 2005, survei lanjutan dilakukan pada 2010 menggunakan kapal survei Baruna Jaya II milik BPPT. Tujuannya untuk memverifikasi data survei awal. Hasilnya kemudian diajukan BIG kepada UN-CLCS.
Setelah melalui sidang pembahasan akhirnya pada 2012, Indonesia mendapat pengakuan dari PBB tentang tambahan luas landas kontinen Indonesia (LKI) di perairan barat Aceh seluas 4.209 kilometer persegi atau seluas Pulau Madura.
Survei LKI Papua
Survei LKI di perairan utara Papua ditandai dengan pelepasan Kapal Riset Baruna Jaya I milik BPPT di Tanjung Priok pada 10 April 2019. Survei ini dilaksanakan selama 73 hari hingga 20 September 2019 lalu oleh tim gabungan BIG dan Balai Teknologi Survei Kelautan BPPT.
Ekspedisi ini dipimpin Yosef Dwi Sigit Purnomo dari BIG selaku penanggung jawab kegiatan dan Hendra Febriawan selaku koordinator tim survei dari BPPT. Kerja sama riset ini juga melibatkan Kementerian Koordinator Kemaritiman, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, BMKG, LIPI, Pushidrosal TNI, ITS, dan UNDIP.
”Bagi BPPT, dalam hal ini Balai Teknologi Survei Kelautan BPPT, kegiatan ini merupakan penerapan difusi teknologi dari balai tersebut dalam memberikan layanan jasa teknologi survei kelautan,” ujar Kepala BPPT Hammam Riza pada acara Pemaparan dan Penyerahan Hasil Kegiatan Survei tersebut, di Hotel Sahid Jakarta, Selasa (29/10/2019). Laporan hasil survei batimetri LKI di utara Papua diserahkan Kepala BPPT kepada Kepala BIG Hasanuddin Zainal Abidin.
Pada survei batimetri ini, jelas Hammam, dioperasikan kapal Baruna Jaya I yang dilengkapi dengan sistem multibeam echosounder teledyne hydrosweep deep sea untuk mendapatkan gambaran morfologi dasar laut di area survei yang ditetapkan. Sistem ini mampu memetakan laut dalam hingga 11.000 meter menggunakan gelombang suara atau sonar pada frekuensi 14 kilohertz hingga 16 kilohertz.
Dengan sistem tersebut, kapal Baruna Jaya I berhasil mendapatkan model bentuk atau morfologi tiga dimensi dasar laut perairan di utara Papua. Hasil survei ini menjadi data primer bagi penyusunan dokumen submisi ekstensi LKI.
Survei pemetaan dasar laut di perairan utara Papua, jelas Sigit Purnomo, bertujuan untuk mencari posisi kaki lereng atau foot of slope (FoS) untuk menentukan batas terluar landas kontinen di daerah ini. Data pengukuran batimetri ini diperlukan untuk membuktikan bahwa daratan Papua itu menerus sampai ke Eauripik Rise di Samudra Pasifik.
Dijelaskan pada UNCLOS 1982, kaki lereng pada landas kontinen diperoleh dari hasil kalkulasi terhadap perubahan gradien maksimum lereng. Perhitungan itu mengacu pada model matematika yang ditetapkan UN-CLCS dan dengan melihat data survei kontur kedalaman atau batimetri.
Penentuan kaki lereng kontinen dilakukan dengan memilih nilai dan posisi perubahan gradien maksimum yang dihasilkan dari perhitungan tersebut dengan memasukkan faktor kedalaman dan jarak. Pemilihan tersebut didasarkan pada prinsip kewilayahan, semakin jauh titik kaki lereng maka akan semakin luas wilayah yang dapat diklaim sebagai wilayah landas kontinen suatu negara. ”Pada survei ini tim berhasil menemukan adanya tambahan landas kontinen seluas 196.568,9 kilometer persegi,” lapor Sigit.
Hasil survei di utara Papua yang dilakukan di luar 200 mil laut Indonesia dan perhitungan FoS itu akan dimasukkan dalam dokumen submisi tambahan wilayah LKI yang akan diajukan kepada UN-CLCS.
”Luas ekstensi landas kontinen Indonesia yang akan diklaim di utara Papua itu 196.568,9 kilometer persegi atau lebih luas dari Pulau Sumatera,” ucap Hasanuddin Z Abidin. Penambahan wilayah di dasar laut yang sangat luas ini kemungkinan dapat memberi keuntungan di kemudian hari, antara lain dari potensi sumber daya alam yang terkandung di dalamnya.
Ekstensi LKI Sumba
Selain pengajuan terhadap penambahan wilayah yuridiksi di utara Papua, perluasan zona LKI masih berpotensi di lokasi lain, yaitu di selatan Pulau Sumba. Pengkajian garis batas terluar LKI di luar 200 mil laut itu menggunakan data geodesi, data batimetri, geologi, dan data geofisik dengan melihat ketebalan sedimen di zona landas kontinen itu.
Studi awal menunjukkan Indonesia berpotensi melebarkan wilayah landas kontinennya di perairan selatan Pulau Sumba seluas 969 kilometer persegi atau lebih luas dari Singapura yang hanya 721 kilometer persegi atau DKI Jakarta yang seluas 661 kilometer persegi.
Dalam mendukung kegiatan survei kelautan selanjutnya di Indonesia, Hamman mengatakan telah merevitalisasi kapal-kapal riset yang dimiliki BPPT. Sejak 2017, revitalisasi dilakukan terhadap Kapal Riset Baruna Jaya I, II, III, dan IV secara menyeluruh untuk memenuhi kelayakan Organisasi Maritim Internasional (IMO) dan SOLAS (Safety of Life at Sea), serta merevitalisasi peralatan survei hidro-oseanografi, geologi, geofisika, geodesi, perikanan laut, dan meteorologi.
Salah satu peralatan survei kelautan yang diandalkan adalah sistem multibeam echosounder teledyne hydrosweep deep sea untuk pemetaan batimetri laut dalam. Data yang dihasilkan peralatan canggih ini bukan hanya untuk mendukung pemetaan batimetri, melainkan juga untuk mendukung program riset kelautan hingga ke laut dalam. Dari sarana tersebut juga dapat berpotensi melahirkan inovasi, pengembangan dan pembangunan infrastruktur kemaritiman nasional, serta program nasional lainnya. (Yuni Ikawati, Mantan Wartawan Kompas)