Jumlah warga senior atau lanjut usia Indonesia tahun lalu hampir 25 juta orang. Jumlah itu akan melonjak tiga kali lipat pada 100 tahun Indonesia Merdeka tahun 2045. Jika mereka masih membebani penduduk usia produktif, upaya mewujudkan sumber daya manusia unggul saat ini akan sulit terwujud.
Oleh
M Zaid Wahyudi
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jumlah warga senior atau lanjut usia Indonesia tahun lalu hampir 25 juta orang. Jumlah itu akan melonjak tiga kali lipat pada 100 tahun Indonesia Merdeka tahun 2045. Jika mereka masih membebani penduduk usia produktif, upaya mewujudkan sumber daya manusia unggul saat ini akan sulit terwujud.
Mulai tahun 2021, struktur penduduk Indonesia masuk kelompok penduduk tua karena lebih dari 10 persen populasi adalah warga lanjut usia (lansia). Jika di era 1960-1970-an Indonesia mengalami baby boom, di awal abad ke-21 Indonesia menghadapi elderly population boom atau ledakan penduduk lansia.
Ketua Umum Koalisi Indonesia untuk Kependudukan dan Pembangunan (Koalisi Kependudukan) Sonny HB Harmadi di Jakarta, Minggu (18/8/2019), mengatakan, lonjakan jumlah warga lansia itu terjadi akibat bertambahnya usia harapan hidup masyarakat dan berakhirnya bonus demografi pada 2040 yang memberi Indonesia lonjakan penduduk usia produktif.
Situasi itu terjadi bersamaan dengan melambatnya pertumbuhan penduduk akibat menurunnya jumlah kelahiran. Namun, yang harus diwaspadai, pertambahan warga lansia itu akan meningkatkan beban kelompok produktif. Karena itu, katanya, penting menyiapkan warga lansia saat ini agar tidak membebani (dalam konteks kesehatan) dan juga bisa produktif.
Penting menyiapkan warga lansia saat ini agar tidak membebani (dalam konteks kesehatan) dan juga bisa produktif.
Dilihat dari situasi saat ini, upaya mewujudkan warga lansia sehat, bermartabat, dan produktif menghadapi tantangan berat. Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan usia harapan hidup orang Indonesia pada 2015 mencapai 69,1 tahun. Namun, umur harapan hidup produktif (healthy life expectancy) hanya 62,1 tahun. Artinya, selisih umur tujuh tahun dilalui masyarakat dengan sakit sehingga tidak produktif.
”Indonesia belum siap hadapi lonjakan lansia,” kata Ketua Perhimpunan Gerontologi Medik Indonesia Siti Setiati.
Tak melulu tentang kesehatan, sebagian besar warga lansia hidup tanpa jaminan hari tua dan tabungan. Banyak di antara mereka masih harus bekerja demi menghidupi diri, bahkan tak jarang menafkahi anak cucunya. Sebagian warga lansia juga telantar, tanpa penghasilan, tempat tinggal, dan pendampingan keluarga.
Tengoklah yang dialami Damari (61), warga Kelurahan Banjer, Manado, Sulawesi Utara. Pria yang hidup sendiri itu harus kerja serabutan demi menyambung hidup, mulai dari membersihkan got dan kamar mandi hingga memperbaiki atap dan pagar rusak. Ia berhenti kerja sebagai penjual bakso dan tukang ojek sejak sembilan tahun lalu karena diminta anaknya untuk istirahat.
Anak Damari yang jadi tentara di Makassar, Sulawesi Selatan, terkadang mengirim uang Rp 500.000. Tentu, jumlah itu tak cukup. Namun, Damari tidak bisa berharap banyak karena anaknya pun harus membesarkan kedua anaknya. ”Seringnya makan sehari sekali. Kadang tidak sama sekali, tahan lapar saja. Kalau tidak kuat, ngutang ke warung,” katanya yang diiringi tawa keras.
Bekerja saat tua juga dilakukan Ciprianus Manugoa (70), pensiunan swasta asal Surabaya yang tak punya jaminan pensiun. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, ia jadi agen surat kabar. ”Memang penghasilan di bawah upah minimum kota, tapi cukup buat hidup bersama istri,” katanya.
Dengan pendapatan tak seberapa itu, terkadang ia harus rela berbagi dengan anak dan keluarganya yang masih tinggal serumah. Namun, hal penting yang harus dijaga adalah jangan sakit karena akan menambah beban hidup meski dirinya terdaftar sebagai peserta Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat.
Memiliki jaminan pensiun pun bukan berarti terpenuhi berbagai kebutuhan. Sejak pensiun sebagai pegawai negeri, Yudha Sukardi (63) harus jadi agen air isi ulang. ”Lumayan untuk tambahan. Uang pensiunan cukup untuk hidup, tapi tidak ada sisa untuk ditabung,” katanya. Padahal, tabungan itu diperlukan untuk tambahan saat sakit datang.
Persiapan
Keterbatasan yang dialami warga lansia saat ini membuat warga lansia masa depan harus disiapkan dari sekarang. Mereka yang akan jadi lansia pada tahun 2035 adalah generasi masa kini yang lahir sebelum tahun 1975.
Sekitar 70 persen penduduk yang lahir sebelum 1975 berpendidikan maksimal sekolah dasar. Rendahnya tingkat pendidikan membuat produktivitasnya rendah sehingga penghasilan dan kemampuannya menabung kecil.
Situasi itu diperparah dengan buruknya gaya hidup masyarakat. Riset Kesehatan Dasar 2018 menyebut prevalensi konsumsi tembakau mencapai 33,8 persen dengan dua dari tiga laki-laki mengonsumi tembakau.
Kondisi itu sedikit memberi gambaran bagaimana kualitas warga lansia Indonesia ke depan. Selain berisiko terhadap berbagai penyakit degeneratif, produktivitas mereka rendah dan tak punya tabungan atau jaminan hari tua.
”Dengan sistem jaminan kesehatan universal saat ini, itu akan luar biasa membebani anggaran kesehatan pemerintah,” kata Sonny. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan yang kini sudah babak belur bisa makin merugi.
Tak hanya membebani pemerintah, warga lansia tidak produktif dan sakit-sakitan akan membebani penduduk usia produktif, yaitu anak dan cucu mereka. Kelompok usia produktif akan kesulitan berinvestasi untuk hari tua mereka. Akibatnya, warga lansia miskin dan penyakitan akan jadi lingkaran yang sulit diputus.
Karena itu, Sonny mengingatkan bahwa upaya mewujudkan sumber daya manusia (SDM) unggul yang jadi prioritas pembangunan pemerintah lima tahun ke depan akan sulit berhasil jika pembangunan warga lansia terabaikan. ”Investasi SDM tidak boleh hanya untuk anak dan penduduk usia produktif, tapi juga lansia,” tambahnya.
Selain sektor kesehatan, peningkatan keterampilan penduduk usia produktif juga harus mulai disiapkan, khususnya menghadapi era Revolusi Industri 4.0. Sistem jaminan hari tua yang sudah dirintis saat ini harus diperluas sehingga pekerja nonformal yang jadi mayoritas dalam struktur pekerja saat ini juga memiliki jaminan pensiun. (DEONISIA ARLINTA/KRISTIAN OKA PRASETYADI/AGNES SWETTA PANDIA/IQBAL BASYARI)