Perokok Pemula Bertambah, Belum Ada Perlindungan Optimal
Tingginya prevalensi perokok pemula mengancam kesehatan generasi penerus bangsa di masa depan. Namun, perlindungan anak dan remaja dari konsumsi rokok belum maksimal.
Oleh
Deonisia Arlinta
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Prevalensi perokok pemula pada usia 10-13 tahun terus meningkat. Efek ketergantungan jangka panjang pun menguat. Hal itu berarti generasi muda kian berisiko mengalami berbagai penyakit di masa depan. Jika tidak ada upaya perlindungan berarti, beban kesehatan meningkat dan pembangunan bangsa terancam.
Dari data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, prevalensi merokok pada usia 10-18 tahun sebesar 7,2 persen. Jumlah itu terus meningkat menjadi 8,8 persen (Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016) dan 9,1 persen (Riskesdas 2018). Pemerintah menargetkan prevalensi perokok pemula bisa menurun jadi 5,4 persen pada 2019.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Siswanto menilai, tren perokok pemula di Indonesia justru bisa meningkat. Itu disebabkan belum ada intervensi spesifik yang efektif mencegah perokok pemula memulai merokok sejak awal.
”Upaya menaikkan cukai rokok 15 persen belum mampu mencegah penduduk usia anak dan remaja membeli dan mencoba rokok. Cukai seharusnya dinaikkan dua kali dari kenaikan saat ini. Jumlah ini tak akan menurunkan pendapatan negara,” ujarnya dalam seminar yang diprakarsai Tobacco Control Support Center-Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (TCSC-IAKMI) di Jakarta, Selasa (18/6/2019).
Menurut Siswanto, pencegahan perokok pemula harus disikapi serius karena beban penyakit yang ditimbulkan amat besar. Rokok menjadi faktor risiko utama lima penyakit tak menular, yakni jantung, stroke, diabetes, kanker, dan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK). Kini penyakit-penyakit itu masuk pembiayaan terbesar Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Berdasarkan hitungan biaya tembakau, kerugian ekonomi di Indonesia akibat kematian dini dan penyakit mencapai Rp 596 triliun atau seperempat dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Selain itu, 120.000 kematian terjadi akibat rokok dari hitungan usia harapan hidup penduduk selama 70 tahun.
Dokter spesialis penyakit paru dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan Jakarta, Sita Andarini, memaparkan, pasien kanker paru yang berobat ke RS Persahabatan kian muda. Jika 10 tahun lalu pasien kanker paru rata-rata berusia 60 tahun, kini banyak pasien berusia 30-40 tahun.
”Dari kunjungan yang ada, 85 persen didiagnosis sudah stadium lanjut. Deteksi dini kanker paru sulit. Upaya pencegahan dengan tak merokok jadi cara paling efektif,” katanya.
Dari kunjungan yang ada, 85 persen didiagnosis sudah stadium lanjut. Deteksi dini kanker paru sulit. Upaya pencegahan dengan tak merokok jadi cara paling efektif.
Selain pada perokok, ancaman penyakit mengintai perokok pasif, bahkan sejak bayi dalam kandungan. Dari hasil riset yang dilakukan, berat badan bayi baru lahir dari ibu perokok 2.263 gram, dari ibu perokok pasif 2.663 gram, dan ibu bukan perokok dengan anggota keluarga juga tak merokok 3.295 gram. Panjang bayi yang dilahirkan pun lebih rendah pada bayi dengan ibu merokok dibandingkan ibu yang tak merokok.
Iklan rokok di internet
Siswanto menambahkan, cara lain yang harus dilakukan pemerintah untuk mencegah bertambahnya jumlah perokok pemula ialah melarang iklan, promosi, dan sponsor rokok di semua media. Langkah Menteri Kesehatan mendorong pemblokiran iklan rokok di internet kepada Menteri Komunikasi dan Informatika perlu dimasifkan.
Secara terpisah, Menkominfo Rudiantara menjelaskan, sejak surat rekomendasi dari Menkes untuk pemblokiran iklan rokok di internet, pengaisan terhadap konten iklan rokok langsung dilakukan.
Pada Kamis (13/6/2019), sebanyak 114 kanal atau alamat situs web di internet langsung diblokir karena melanggar Pasal 46 Ayat (3) butir C Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan mengenai promosi rokok yang memperagakan wujud rokok.
”Sementara yang kami blokir masih pada pelanggaran yang mengacu aturan itu. Kami menanti ajakan koordinasi dari Kemenkes untuk membahas pelanggaran yang berkorelasi karena regulator ini ada di Kemenkes,” kata Rudiantara.
Menteri Kesehatan Nila F Moeloek, Senin lalu, menyatakan, koordinasi segera dilakukan. Kemenkes menyusun payung hukum penindakan atas pelanggaran iklan rokok di internet. ”Larangan iklan rokok ini demi mencegah perokok pemula,” ujarnya.
Sepekan lalu, Kepala Subdirektorat Pengawasan Produk Tembakau Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Moriana menuturkan, iklan rokok yang ditayangkan di internet juga bisa melanggar aturan batas usia akses iklan pada media teknologi informasi. ”Seharusnya iklan hanya boleh ditujukan untuk usia di atas 18 tahun. Sementara di internet tidak ada batasan dan verifikasi terhadap batas usia tersebut,” katanya.