Lokasi Pengelolaan Limbah Elektronik di Tangerang Disegel
Oleh
Dionisia Arlinta
·4 menit baca
TANGERANG, KOMPAS – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyegel sejumlah lokasi yang diduga menjadi tempat pengelolaan limbah elektronik ilegal di Desa Tegal Angus, Kecamatan Teluknaga, Tangerang, Banten, Jumat (31/5/2019). Lokasi ini terindikasi melakukan berbagai pelanggaran, dari tidak ada izin pengelolaan limbah hingga izin penimbunan bahan berbahaya dan beracun.
Penyegelan tersebut dilakukan dengan pemasangan papan larangan dan garis penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) di dua lokasi yang menjadi tempat pengolahan limbah elektronik ilegal. Penyegelan ini dilakukan untuk menjaga barang bukti yang akan digunakan sebagai bahan keterangan dan proses penyidikan berikutnya.
Direktur Penegakan Hukum Pidana Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Yazid Nurhuda di sela-sela kegiatan penyegelan mengatakan, kasus ini berawal dari pengaduan warga sekitar yang terganggu dengan adanya kegiatan pembakaran limbah elektronik di wilayah tersebut.
“Pengelolaan limbah harus memiliki izin pemanfaatan limbah B3. Sementara, di desa Tegal Angus ini tidak ada izin dan juga tidak melakukan prosedur yang seharusnya,” ujarnya.
Aturan terkait pengelolaan limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun) tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 101/2014. Adapun limbah elektronik yang ditemui di desa Tegal Angus adalah jenis limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) dengan kode limbah B107d dengan zat pencemar limbah elektronik termasuk cathode ray tube (CRT), lampu TL, Printed Circuit Board (PCB), dan karet kawat (wire rubber).
Direktur Pengawasan dan Penerapan Sanksi Administratif KLHK, Sugeng Priyanto menambahkan, pembakaran limbah elektronik yang tidak sesuai prosedur dapat menimbulkan pencemaran udara dan gangguan kesehatan bagi masyarakat yang tidak di sekitarnya.
Hal ini disebabkan karena limbah pembakaran yang dihasilkan mengandung senyawa Poly Chlorinated Biphenyls (PCBs) yang bersifat karsinogenik sehingga dapat memicu timbulnya penyakit kanker.
Aktivitas pengolahan limbah di desa ini berpotensi melanggar pasal 98, pasal 102, pasal 104, dan pasal 109 Undang-Undang 32/2019 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Selain itu, aturan lain yang juga bisa dilanggar adalah Undang-Undang 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah dengan ancaman pidana penjara paling lama 10 tahun dan dengan paling banyak Rp10 miliar.
Dalam pengamatan di Desa Tegal Angus, ada banyak rumah warga yang menjadi tempat pengolahan limbah elektronik tersebut. Bahkan, ketika sampai di tepi jalan sebelum masuk ke pemukiman warga sudah dijumpai sampah elektronik yang berserakan di tanah. Di sejumlah rumah yang menjadi tempat pengolahan ditemui tumpukan karung yang berisi sampah elektronik yang baru diambil dari pengepul.
Lokasi pengolahan limbah menyatu dengan rumah warga. Tempat pemanasan sampah elektronik pun berada di tengah pemukiman sehingga asap yang dihasilkan langsung mencemari wilayah itu. Proses pengolahan ilegal dari limbah B3 ini sudah berlangsung sekitar 15 tahun.
Mata pencarian
Soleh (39), salah satu warga yang memiliki tempat pengolahan limbah elektronik menyampaikan, hampir seluruh warga di Desa Tegal Angus bekerja sebagai pengolah limbah. Setidaknya, ada 50 orang yang memiliki tempat pengelola limbah elektronik dan sekitar 1.000 orang warga yang bekerja di tempat tersebut.
Soleh menyebutkan, pendapatannya per bulan sebagai pemilik pengolahan limbah sekitar Rp3 juta sampai Rp5 juta. Sementara, orang yang bekerja di tempat pegolahan itu mendapat upah sekitar Rp800.000 per bulan.
Ia memanfaatkan limbah elektronik untuk diolah dan dipisahkan kandungan di dalamnya, seperti tembaga, timah, emas, dan besi. Sejumlah komponen ini kemudian dijual kembali ke pengepul.
Sebagian komponen elektronik tersebut juga dibakar di area terbuka hingga menjadi abu yang kemudian abu tersebut dijual ke pengepul lain. Harga abu ini sekitar Rp2.000 per kilo dengan rata-rata per minggu sekitar 100 kilogram abu yang didapatkan.
“Hampir semua kerjanya ya di sini (pengolahan limbah elektronik). Kalau ini ditutup kita mau kerja apa. Sebelumnya memang kerja sebagai petani, tetapi lahan sudah tidak ada. Sudah jadi perumahan semua,” ujarnya.
Hal tersebut juga disampaikan oleh Arfah (35). Selama 13 tahun, ia sudah bekerja sebagai pengolah limbah elektronik. Ia mengaku paham jika pekerjaannya tidak memiliki izin. Namun, selama ini ia tidak pernah mendapatkan teguran maupun pembinaan dari pemerintah ataupun pihak lain sehingga ia tetap mengerjakan proses pengolahan limbah di tempatnya.
“Saya harap kalau pun pengolahan limbah ini ditutup kita diberikan alternatif pekerjaan yang juga menghasilkan. Rata-rata warga di sini pendidikan hanya SD (sekolah dasar) jadi susah kalau harus cari kerja lain. Selama ini, penghidupan kami dari limbah ini,” kata Arpha.