Katowice Belum Tunjukkan Perubahan Paradigma Pembangunan
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS—Konferensi Perubahan Iklim Ke-24 di Katowica hingga kini belum menunjukkan tanda mampu mengarahkan negara-negara untuk mengubah paradigm pembangunan yang ramah lingkungan. Laporan Khusus Panel Ahli Perubahan Iklim Antarpemerintah yang diminta UNFCCC hingga kini masih belum dirujuk menjadi pertimbangan resmi dalam pembicaraan iklim.
Kegelisahan itu mendorong sekitar 3.000 orang aktivis dari berbagai negara, Sabtu, menggelar protes di sekitaran lokasi konferensi yang masih berlangsung hingga 14 Desember 2018 tersebut. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia bersama Friends of the Earth Indonesia termasuk di dalam aksi March for Climate “Wake up! It’s Time to Save Our Home”.
Demonstrasi itu menjadi alarm untuk membangunkan pemerintah agar menjalankan aksi serius. “Pesan kami kepada politis dan perusahaan agar mereka berhenti membuat uang dari pengeluaran kami, pengeluaran pada biaya kesehatan kami,” kata seorang demonstrator yang mengaku bernama Jeremi, seperti dikutip Reuters, 8 Desember 2018.
Pesan kami kepada politis dan perusahaan agar mereka berhenti membuat uang dari pengeluaran kami, pengeluaran pada biaya kesehatan kami.
Reuters pun menyebutkan dalam perhelatan akbar di Kota Tambang Batubara, Katowice ini, petugas imigrasi menolak masuk 161 orang karena alasan kelengkapan dokumen dan daftar keamanan. Situs www.climatechangenews.com, portal berita independen, menyebutkan 12 orang aktivis dilarang masuk Polandia terkait COP24. Satu diantaranya, Nugzar Kokhreidze, aktivis 350.org asal Georgia yang tak bisa melewati imigrasi Bandara Internasional Katowice karena namanya dicoret dari daftar.
Di Katowice, Walhi menyuarakan berbagai fakta persoalan dan krisis lingkungan hidup dan perubahan iklim yang terjadi di tingkat tapak. Perubahan iklim sebagai problem global tidak bisa dilepaskan dari fakta krisis yang terjadi di tingkat tapak di berbagai belahan dunia, Indonesia salah satunya.
Namun faktanya, hingga putaran COP 24 ini, belum ada upaya signifikan dari para pihak, untuk mengoreksi model pembangunan dunia yang konsumtif yang memicu krisis iklim. Laporan IPCC terbaru menunjukkan ancaman yang begitu nyata yang harus dialami akibat jika suhu bumi tidak ditahan di bawah 1,5 derajat celcius. Kelangkaan air, krisis pangan dan dampak kesehatan yang akan dialami oleh penduduk bumi.
Dalam www.climatechangenews.com, situs berita independen berbasis di Inggris, menyebutkan Katowice gagal menyambut Laporan Khusus IPCC tersebut dalam pembicaraan-pembicaraan iklim. Ini dikarenakan penghasil minyak dan gas terbesar, Amerika Serikat, Arab Saudi, Kuwait, dan Rusia pada satu barisan blok yang menolaknya.
Keempat negara ini hanya mau Laporan Khusus IPCC tersebut sebagai “catatan” (note). Negara-negara miskin, berkembang, kepulauan kecil, dan Eropa mendorong agar Laporan Khusus IPCC tersebut “disambut” (welcome) dalam pembicaraan iklim.
Kurang ambisius
Dengan arah pembicaraan pertemuan global yang kurang ambisius, adopsi langkah lebih serius pada skala nasional akan lebih sulit. Deforestasi dari perkebunan sawit, hutan tanaman industri, dan tambang masih menjadi ancaman yang serius bagi Indonesia.
Dimas Hartono, Direktur Walhi Kalimantan Tengah, Minggu (9/12/2018) di Katowice, menyatakan Kalteng setiap tahun kehialngan 132.000 ha hutan akibat industri ekstraktif. Ia mengatakan deforestasi bukan membawa pendapatan daerah tetapi justru membawa konsekuensi biaya lingkungan akibat penghancuran hutan.
Di Kalimantan Barat laju deforestasi adalah persoalan serius dalam perluasan perkebunan sawit. Kebun sawit menguasai 4 juta ha di Kalbar.
“Komitmen Gubernur Kalbar untuk segera mengimplementasikan kebijakan Moratorium dalam memperbaiki tata kelola sumber daya alam di Kalimantan Barat harus terus ditagih. Implementasi kebijakan moratorium dan percepatan pengakuan pengelolaan hutan oleh rakyat adalah jalan utama mewujudkan keadilan iklim," kataAnton P Widjaya, Direktur Walhi Kalbar.
Selain deforestasi, keberpihakan pada sektor energi terbarukan juga didorong untuk menurunkan penggunaan PLTU batubara dan penambangan batubara itu sendiri. Pembangunan PLTU batubara akan menjadi tumpuan pemerintah dalam mencapai target 35.000 MW.
PLTU yang membutuhkan energi dari batubara juga menciptakan sejumlah masalah lingkungan dan sosial di lokasi tambang. Seperti di Kalimantan Timur, lubang-lubang tambang batubara telah menyebabkan puluhan anak-anak meninggal karena tenggelam di lahan bekas tambang.