Pemerintah Diminta Segera Terapkan KLHS Pegunungan Kendeng
Oleh
Yovita Arika
·3 menit baca
BOGOR, KOMPAS — Kajian Lingkungan Hidup Strategis atau KLHS untuk pengelolaan kawasan Pegunungan Kendeng yang berkeberlanjutan dilakukan dua tahap sejak 2016 hingga pertengahan 2018. Namun, sampai saat ini, pemerintah belum juga menindaklanjuti hasil kajian tersebut.
Gunretno dari Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) mengatakan bahwa pemerintah, khususnya presiden, berkewajiban membuat kebijakan untuk pengelolaan dan pemanfaatan kawasan Pegunungan Kendeng di Jawa Tengah berdasarkan hasil KLHS.
”Saat ini kerusakan akibat aktivitas pertambangan sudah begitu besar. Ini harus dicegah demi keberlanjutan alam dan ekonomi untuk anak cucu kami,” katanya seusai mengisi acara diskusi bertajuk ”Menagih Kehadiran Negara” di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), Bogor, Jawa Barat, Sabtu (8/12/2018).
Sejak diamanatkan Presiden Joko Widodo pada 2 Agustus 2016, analisis daya dukung dan daya tampung Pegunungan Kendeng melalui KLHS telah selesai dilakukan pada 18 Juni 2018, kata Gunretno. Kerusakan di kawasan Pegunungan Kendeng menjadi fokus KLHS yang telah dilakukan dua tahap, sesuai keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Tahap pertama fokus pada Cekungan Air Tanah (CAT) Watu Putih di Kabupaten Rembang. Tahap kedua fokus pada kawasan di sekitar Pegunungan Kendeng Utara yang meliputi Kabupaten Grobogan, Pati, Rembang, dan Blora di Jawa Tengah, serta Kabupaten Bojonegoro, Kabupaten Tuban, dan Kabupaten Lamongan di Jawa Timur.
Kawasan yang menjadi fokus KLHS merupakan wilayah pegunungan karst atau pegunungan kapur dengan luas 275.581 hektar atau 22 persen dari total luas tujuh kabupaten. Kawasan tersebut adalah lahan subur yang selama ini menghidupi masyarakat di sekitarnya dengan kehidupan bertani.
Namun, dalam dua dekade terakhir, aktivitas penambangan sumber daya alam di kawasan tersebut telah memicu konflik sosial dan bencana alam. Adapun sumber daya alam yang dimaksud seperti batu gamping, batu kapur, pasir, dan pasir kuarsa yang menjadi bahan utama industri semen, serta pencurian kayu jati di kawasan hutan milik PT Perum Perhutani.
”Akibat eksplorasi dan perusakan tersebut, daerah kami sering dilanda bencana. Pertama, kekeringan karena penyerapan air di daerah kapur ketika musim hujan berkurang. Lalu banjir karena adanya penurunan kualitas daya dukung lingkungan,” kata Gunretno.
Seperti awal bulan ini, Kompas.com melaporkan, Senin (3/12/2018), banjir bandang dari Pegunungan Kendeng Utara merendam permukiman warga di Kecamatan Grobogan, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Sekitar 5.800 rumah terendam banjir bandang dengan ketinggian air mencapai 60 sentimeter.
Pada musim kemarau tahun ini, sejumlah sumber air di Kabupaten Grobogan mengalami kekeringan. Kondisi tersebut mengakibatkan krisis air bersih dan lahan pertanian. Kekurangan air bersih menyebabkan sebagian warga harus mendapatkan air dari sumur fasilitas umum. (Kompas, 11/5/2018)
Dampak lingkungan yang dirasakan masyarakat di sekitar Pegunungan Kendeng Utara juga memicu kerugian ekonomi. Berdasarkan KLHS tahap pertama di ekosistem CAT Watuputih, aktivitas pertambangan menimbulkan kerugian sampai Rp 3,2 triliun per tahun.
”CAT ini adalah lembah yang ibaratnya menjadi gentong. Air yang ada disalurkan PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) ke masyarakat dengan biaya Rp 160 per liter. Ketika tidak ada air, uang yang dikeluarkan masyarakat lebih besar,” kata Gunretno. (ERIKA KURNIA)