JAYAPURA, KOMPAS—Di tengah ancaman gizi buruk yang membayangi Papua, sebagian masyarakat di sekitar Danau Sentani, Kabupaten Jayapura, mencukupi kebutuhan pangan dengan mempertahankan hutan sagu. Keberadaan hutan sagu mencukupi kebutuhan karbohidrat dan protein sekaligus ekonomi warga.
Dua kampung di sekitar Danau Sentani yang mempertahankan hutan sagunya ialah Kampung Yoboi (Distrik Sentani) dan Kampung Toare (Distrik Yaebu). Keduanya di Jayapura. Hutan sagu tumbuh subur di dua kampung itu meski di kampung lain banyak yang dikonversi menjadi perumahan.
”Hutan sagu ini sumber hidup kami, untuk pangan, bahan rumah, dan ritual adat. Kami membuat aturan adat melarang penjualan lahan sagu,” kata Kepala Kampung Yoboi Sefanya Wally di Yoboi, Rabu (5/12/2018).
Hutan sagu ini sumber hidup kami, untuk pangan, bahan rumah, dan ritual adat. Kami membuat aturan adat melarang penjualan lahan sagu.
Meski setiap bulan mendapat bantuan beras sejahtera, orang Sentani belum kenyang jika belum makan papeda. ”Kalau makan beras cepat lapar,” ujarnya. Mereka juga bisa memanen sabeta atau ulat sagu dan jamur sagu sebagai sumber protein. Hutan sagu juga jadi tempat hewan buruan, seperti rusa. Kebutuhan protein juga ditopang dari hasil ikan di Danau Sentani.
Dari hutan sagu, warga mendapat karbohidrat berupa tepung sagu yang diolah menjadi berbagai bahan pangan. Menurut Tonce Wally (66), tua adat Kampung Yoboi, satu batang sagu mencukupi kebutuhan pangan satu keluarga sampai tiga bulan. ”Untuk makan sendiri, satu tahun kita tebang sagu empat kali. Itu satu keluarga dengan lima anak sudah cukup,” ujarnya.
Dari hasil penjualan tepung sagu, masyarakat Kampung Yoboi bisa menyekolahkan anak-anak mereka hingga perguruan tinggi. Leni Tungkoye (42), waraga Yoboi mengatakan, membiayai sekolah anak-anaknya dari hasil menokok sagu. Dari enam anaknya, satu orang kuliah, satu sekolah menengah atas, dua sekolah menengah pertama, dan lainnya sekolah dasar.
Demikian halnya Debora Wali (71), warga Yoboi, berhasil membiayai enam anaknya hingga tamat kuliah juga dari hasil sagu. "Kalau mau kerja tokok sagu, sehari bisa dapat Rp 1 juta. Itu dari hasil dari satu batang, dapatnya 4 karung. Biasanya kami tebang banyak kalau mau bayar sekolah anak," kata dia.
Ketua Kelompok Peduli Sagu Kampung Toare, Lot Tungkoye mengatakan, selain menjual pati sagu mentah di pasar, saat ini masyarakat mulai belajar mengolahnya menjadi beragam produk. Mereka mendapat pendampingan dari Pusat Pelatihan Pertanian Pedesaan Swadaya (P4S) Cahaya Duta Palili, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Pati sagu ini diolah menjadi kerupuk, kue-kue kering, dan beragam pangan olahan lain.
"Selama ini banyak kampung lain jual hutan sagunya karena kebutuhan ekonomi. Dengan mengolahnya, untungnya akan lebih banyak, sehingga saya yakin orang tidak mau lagi jual hutan sagunya," kata Lot Tungkoye.
Konversi lahan
John Herman Mampioer, peneliti dari Dinas Kehutanan Papua yang juga dosen di Universitas Ottow Geisler Papua, Jayapura mengatakan, secara sosial dan budaya sagu menempati posisi sangat penting bagi masyarakat Sentani. Namun demikian, konversi lahan sagu menjadi fungsi lain seperti infrastruktur, perkebunan, hingga perumahan sangat masif.
"Lahan sagu paling sering dikorbankan dengan alasan pembangunan karena selama ini dipandang sebelah mata fungsi ekonomi maupun sosialnya. Tidak banyak lagi kampung-kampung yang bisa mempertahankan hutan sagunya seperti di Yoboi," katanya.
Pemerintah Kabupaten Jayapura sebenarnya telah mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 3 Tahun 2000 tentang Pelestarian Kawasan Hutan Sagu. Namun, di lapangan hal ini kerap dilanggar. Alih fungsi hutan sagu pun terus terjadi. "Jika tak ada upaya serius, hutan-hutan sagu makin habis," ujarnya.