JAKARTA, KOMPAS — Strategi pembangunan nasional perlu melakukan pendekatan budaya dalam upaya konservasi alam. Hal ini dapat dilakukan dengan melibatkan masyarakat sebagai subyek konservasi alam.
Hal tersebut disampaikan Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wiratno dalam kuliah umum Kongres Kebudayaan Indonesia 2018 bertema ”Kebudayaan sebagai Basis Konservasi Alam”.
”Untuk memulainya, pemerintah atau para ahli perlu jemput bola ke masyarakat. Masyarakat bisa menceritakan kearifan lokal yang mereka ketahui dan yakini, lalu didokumentasikan. Rumusannya kemudian dipraktikkan dengan cara-cara baru. Mungkin bisa dipadukan dengan sains dan teknologi,” kata Wiratno di kantor Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta Pusat, Kamis (6/12/2018).
Dengan demikian, masyarakat adat atau masyarakat yang tinggal di pinggiran kawasan konservasi perlu diikutsertakan dalam pengelolaan kawasan konservasi. Ini perlu melibatkan kerja sama lintas kementerian atau organisasi untuk memberi pendampingan dan pemberdayaan.
”Kita bisa lihat kawasan Taman Nasional Leuser, Sumatera Utara. Masyarakat di sekitar kawasan itu dulu hidup sebagai penebang liar, tetapi kini mereka bekerja untuk pariwisata. Kami berusaha mendorong mereka agar bisa mengelola hutan dan mendapat manfaat ekonomi tanpa merusak hutan,” katanya.
Sementara, upaya konservasi yang tidak sejalan dengan kearifan lokal masyarakat justru dapat mengancam eksistensi budaya dan masyarakat yang hidup dari kawasan tersebut. Kondisi tersebut diakui masih terjadi di Taman Nasional Bukit Duabelas, Jambi, yang menjadi rumah bagi Orang Rimba.
”Status Taman Nasional Bukit Duabelas membuat Orang Rimba kehilangan ruang untuk mengekspresikan budaya mereka yang erat dengan hutan. Peraturan daerah yang melarang pembakaran hutan juga membuat ritual-ritual yang dilakukan saat berladang tidak lagi dipraktikkan,” kata Suwandi dari Dewan Kesenian Jambi yang hadir pada kuliah umum tersebut.
Ia berharap, kegiatan Kongres Budaya yang mendukung budaya sebagai basis konservasi alam bisa memberi jawaban. ”Harus ada formula yang tepat supaya upaya konservasi tidak menghilangkan kebudayaan masyarakat setempat atau setidaknya mereka dibantu agar budaya mereka dapat tetap dilakukan sepenuhnya dengan cara lain,” ujarnya.
Dipercepat
Upaya melibatkan masyarakat dalam konservasi alam, menurut Wiratno, akan terus dipercepat. Praktik konservasi alam berbasis budaya juga baru dipraktikkan 30-40 persen oleh KLHK.
”Kami akan memperkuat kerja sama lintas kementerian. Kalau perlu, dengan lebih banyak ahli dari berbagai disiplin ilmu,” kata Wiratno. (ERIKA KURNIA)