DEPOK, KOMPAS— Sejumlah badan publik dinilai belum mengimplementasikan keterbukaan informasi pada masyarakat. Keterbukaan informasi itu diharapkan semakin meningkatkan tata kelola pemerintah. Dibutuhkan pola pikir dalam mengubah ketertutupan menjadi keterbukaan.
Rektor Universitas Indonesia Muhammad Anis mengatakan, pengimplementasian undang-undang tentang keterbukaan informasi publik bukan hanya sekadar kewajiban bagi badan publik, tapi juga menjadi kebutuhan badan publik dalam menghadapi era digital.
“Implementasi itu merupakan bentuk tata kelola yang baik bagi badan publik dalam menunjukkan transparansi, akuntabilitas, dan profesionalitas,” kata Anis saat menjadi pembicara kunci dalam diskusi publik bertajuk Tantangan Keterbukaan Informasi Publik di Era Digital yang diselenggarakan Departemen Ilmu Komunikasi FISIP UI, di Depok, Senin (3/12/2018).
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) menyebutkan, setiap informasi publik harus dapat diperoleh setiap orang dengan cepat dan tepat waktu, biaya ringan, dan cara sederhana. Badan Publik wajib menyediakan dan memberikan informasi publik yang akurat, benar, dan tidak menyesatkan.
Namun, belum semua badan publik menyediakan informasi pada masyarakat. Dikutip dari harian Kompas (6/11/2018), Komisi Informasi Pusat melakukan penilaian terhadap 460 badan publik. Badan publik itu terdiri dari 134 perguruan tinggi negeri, 111 badan usaha milik negara, 86 lembaga negara/pemerintahan, 34 pemerintah provinsi, 34 kementerian, dan 16 partai politik.
Adapun gradasi penilaian mulai dari tidak informatif, kurang informatif, cukup informatif, menuju informatif, dan informatif.
Hasilnya, 303 badan publik atau 65,87 persen tergolong tidak informatif. Dari 303 badan publik ini, sebanyak 171 badan tidak mengembalikan kuesioner.
Selain itu, 53 badan publik atau 11,52 persen dinilai kurang informatif. Dengan demikian, 356 badan publik atau 76,39 persen tergolong kurang dan tidak informatif.
Sementara 53 badan publik lainnya atau 11,52 persen dinilai cukup informatif. Untuk kategori menuju informatif dan informatif, masing-masing adalah 36 badan publik atau 7,83 persen dan 15 badan publik atau 3,26 persen.
Pengamat Informasi Publik R Kristiawan menilai, kurangnya implementasi badan publik dalam keterbukaan informasi disebabkan oleh beberapa faktor. Yang pertama, mereka belum mengetahui kewajiban badan publik yang diatur dalam UU KIP. Yang kedua, saat tidak ada permintaan dari masyarakat untuk mendapatkan informasi itu, maka badan publik juga tidak menyediakannya.
Sementara itu, Komisioner Komisi Informasi Pusat periode 2009-2017 Henny S Widyaningsih menjelaskan, perbedaan persepsi pola pikir antara internal badan publik juga menjadi penghambat dalam keterbukaan informasi. Ketika data ditampilkan kepada publik, mereka merasa takut dan tidak karena kinerjanya diawasi publik. Oleh sebab itu, sebagian besar memilih tidak membagikan informasi kepada publik.
“Pola pikir mereka harus diubah. Dengan adanya keterbukaan informasi publik justru membuat kinerja mereka terarah dan terpantau, sehingga tata kelola semakin jelas,” ucap Henny. (MELATI MEWANGI)