Cerita dari Bangkai Paus Wakatobi
Kabar kematian paus sperma di Wakatobi, Sulawesi Tenggara menggaungkan kembali desakan penyelamatan laut dari dampak sampah plastik. Mamalia laut yang masih remaja tersebut mati dengan perut dipenuhi aneka jenis sampah dari aktivitas manusia yang didominasi sampah plastik yang tak dapat terurai.
Kejadian itu mengagetkan karena baru kali ini mamalia laut di Indonesia dibedah dan didapati sejumlah sampah plastik di organ pencernaan. Menurut data Balai Taman Nasional Wakatobi, hasil pengukuran isi perut paus yang dilakukan di Kampus Akademi Komunitas Kelautan dan Perikanan Wakatobi (Kementerian Kelautan dan Perikanan), ditemukan 5,9 kilogram sampah.
Identifikasi sampah tersebut terdiri dari sampah gelas plastik 750 gram (115 buah), plastik keras 140 gram (19 buah), botol plastik 150 gram (4 buah), kantong plastik 260 gram (25 buah), serpihan kayu 740 gram (6 potong), sandal jepit 270 gram (2 buah), karung nilon 200 gram (1 potong), tali raffia 3.260 gram (lebih dari 1.000 potong).
Paus tersebut terdampar berada di pantai sisi barat Pulau Kapota, Wangi-wangi di Wakatobi pada 18 November 2018. Diperkirakan paus berukuran 9,5 meter dan lebar 437 sentimeter tersebut telah lama mati karena organ-organnya mulai membusuk.
Data Whalestranding Indonesia menunjukkan, 371 kejadian mamalia laut terdampar di wilayah Indonesia pada 1987-2018. Di tahun ini, terdapat 28 kejadian mamalia laut terdampar di perairan Aceh hingga Papua. Di Wakatobi, seekor paus sperma juga pernah terdampar dan mati pada 2006.
Kematian paus dengan isi perut berupa sampah plastik ini secara global telah beberapa kali dijumpai. Di Thailand, awal bulan Juni 2018, seekor paus pilot mati terdampar dengan 80 kantong plastik di dalam saluran pencernaannya.
Di Eropa, berulang kali kematian paus atau lumba-lumba dengan sampah plastik di dalam perutnya menghiasi pemberitaan. Pada Februari 2018 di perairan Cabo de Palos, Spanyol, seekor paus sperma (Physeter microcephalus) sepanjang 10 meter, berjenis sama dan berukuran hampir sama dengan paus di Wakatobi, mati dengan 64 pounds (29 kilogram) sampah di dalam saluran pencernaan. Melihat ukurannya, paus sperma sepanjang 9-10 meter masuk kategori remaja atau menginjak dewasa seukuran 12 meter.
Dulu apabila ditemukan paus terdampar, analisa pasti menuju bahwa paus itu disorientasi karena pengaruh perubahan iklim maupun gangguan “radar” akibat terlalu banyak interferensi gelombang buatan manusia. Namun tindakan nekropsi atau pembedahan pada bangkai paus yang dilakukan memberi petunjuk lain bahwa si paus terdampar mati akibat sampah.
“Nekropsi sangat penting dalam setiap kejadian terdampar. Terbukti bahwa paus kode-4 (tahapan pembusukan bangkai) yang sudah sangat decomposed juga masih bisa bercerita,” kata Putu Liza Mustika, Koordinator Whalestranding Indonesia, Selasa (20/11/2018) dihubungi di Queensland, Australia. Ia tinggal di Australia dan menjadi pengajar tamu di James Cook University.
Putu Liza mengatakan nekropsi pada bangkai pesut Mahakam dan lumba-lumba di Kalimantan yang dilakukan koleganya, Danielle Kreb (Yayasan Rasi) telah beberapa kali menemukan sampah plastik di dalam tubuh mamalia laut. Ini menjadi tambahan bukti bahwa sampah plastik juga telah menjadi masalah di sungai – termasuk sungai di Kalimantan yang terkesan berada di pelosok.
Ganggu pencernaan
Dari foto paus sperma di Kapota, Putu Liza melihat hewan pemakan ikan kecil dan cumi-cumi ini amat kurus. Posturnya mirip bentuk kacang bukan gemuk seperti paus normal.
“Dengan banyaknya sampah di dalam perut, sangat wajar kalau (keberadaan sampah) berkontribusi pada kematian,” kata dia. Efek sampah pada organ dalam tubuh, terutama sampah plastik, yakni mengganggu penyerapan nutrisi. Selain itu sampah plastik dengan sifat sulit terurainya berisiko menimbulkan infeksi pada organ dalam paus.
Dengan banyaknya sampah di dalam perut, sangat wajar kalau (keberadaan sampah) berkontribusi pada kematian.
Bagaimana bisa sampah-sampah ini berada dalam organ pencernaan paus? Putu Liza menjelaskan hal itu terkait cara makan paus yaitu membuka mulut dan membawa ikan maupun cumi-cumi masuk ke saluran pencernaan. Jika di sekitar lokasi makannya ada sampah atau melintasi arus perairan yang membawa sampah, maka sampah-sampah itu turut masuk ke dalam saluran pencernaan.
Analisa lain, lanjut Putu Liza, paus juga memakai ekolokasi atau radar untuk mengetahui keberadaan gerombolan ikan dan cumi-cumi. Karena sampah plastik, terutama kantong plastik, ini melayang-layang di kolom air yang dalam dan gelap, paus membacanya sebagai mangsa dan mengonsumsinya.
“Harus lebih kenceng lagi pembatasan plastik sekali pakai,” kata Novrizal Tahar, Direktur Pengelolaan Sampah, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, mengomentari kejadian paus terdampar di Wakatobi.
Alasannya, dari volume total sampah di daratan, menurut Guru Besar Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin Makassar Akbar Tahir, sekitar 20 persennya akan berakhir di lautan. Sebagian sampah-sampah itu merupakan plastik sekali pakai seperti kantong, sedotan, dan gelas atau botol air minum.
Baru tiga pekan lalu, dalam pagelaran Konferensi Kelautan atau Our Ocean Conference soal sampah plastik ini menjadi pembahasan yang mendominasi ruang-ruang diskusi. Sejumlah komitmen dari pemerintah, pelaku usaha, komunitas masyarakat, dan organisasi masyarakat sipil pun tercipta dan dinyatakan untuk mengurangi dan mengendalikan sampah di laut.
Namun komitmen itu harus diterapkan dalam aksi lokal dan nyata individu serta massal. Tanpa tindakan cepat dan sistematis, permasalahan sampah di laut menjadi ancaman global yang bisa menjadikan manusia sebagai penyebab hilangnya kehidupan di kolom laut.
Indonesia yang "ditahbiskan" sebagai penghasil sampah plastik terbesar kedua di dunia (Jenna R Jambeck, 2015) pun sudah saatnya menunjukkan kemajuan dan mengambil tanggung-jawab lebih besar akan hal ini. Bukan saatnya lagi mengelak dengan berbagai dalih untuk keluar dari tanggung-jawab. Toh faktanya, sampah yang terkelola di daratan masih minim dan kapal penumpang berkali-kali terpergok membuang sampah di laut.
Selain menyediakan sarana dan sistem persampahan yang kuat, pengurangan sampah harus mulai dilakukan. Isi perut paus sperma yang mati terdampar di pantai Wakatobi yang cantik itu bisa menjadi referensi bagaimana kita harus mengubah gaya hidup maupun kebiasaan sehari-hari yang boros mengonsumsi plastik sekali pakai.