Komunikasi Krisis Lemah, Penanganan Bencana Tak Optimal
Oleh
Yovita Arika
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Komunikasi krisis atau komunikasi ketika terjadi bencana di Indonesia dinilai belum menjadi perhatian. Akibatnya, penanganan bencana di Indonesia belum berjalan optimal.
Hal ini mengmuka dalam diskusi “Menilik Komunikasi Krisis pada Kejadian Bencana di Indonesia” yang digagas oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Senin (12/11/2018), di Jakarta. Hadir sebagai narasumber peneliti Pusat Penelitian Kependudukan LIPI Syarifah A Dalimunthe; dosen Manajemen Bencana Universitas Charles Darwin, Australia, Jonatan Lassa; Wakil Redaktur Pelaksana Harian Kompas Try Harijono. Diskusi ini dimoderatori oleh Kepala Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI Eko Yulianto.
Jonatan mengatakan, komunikasi krisis adalah komunikasi yang berlangsung saat bencana terjadi dan pascabencana. Durasinya berlangsung selama 72 jam pertama atau mengikuti masa tanggap darurat.
Studi tentang komunikasi krisis ini, kata Jonatan, termasuk hal yang harus diperhatikan dalam isu bencana di Tanah Air. Dalam kajian akademik di Indonesia, kata dia, hal ini berada dalam rentang dua disiplin ilmu, yaitu antara studi komunikasi dan studi tentang kebencanaan.
“Saya menghubungi beberapa kampus yang memiliki jurusan komunikasi. Di sana, isu bencana belum begitu rutin dibahas. Sebaliknya, teman-teman yang fokus pada disiplin ilmu tentang bencana juga tidak memfokuskan diri tentang komunikasi karena memang disiplin ilmunya berbeda. Akibatnya, terjadi ruang kosong tentang pembahasan komunikasi krisis,” kata dia.
Lemahnya penerapan komunikasi krisis ini ditemui dalam kejadian gempa berkekuatan M 7,4, tsunami, dan lekuefaksi yang terjadi di Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah, pada 28 September 2018. Survei berjudul “Kaji Cepat Perilaku Penyintas Triple Disasters Sulawesi Tengah” yang dilakukan Syarifah A Dalimunthe menunjukkan betapa kacaunya situasi di sana pascatsunami.
Struktur pemerintahan sipil runtuh, ditambah lagi informasi tentang gempa masih simpang siur. Selain itu, sebelum tsunami terjadi masih ada anggapan di sebagian masyarakat yang mengatakan Kota Palu aman dari tsunami. “Ini seperti rumor yang dipercaya karena tidak ada informasi tandingan dari pihak-pihak lain,” kata Syarifah.
Dari 50 responden penyintas gempa yang diambil dari 9 kelurahan di wilayah Kota Palu dan Kabupaten Sigi, sebanyak 43 persen tidak segera menyelamatkan diri karena tidak melihat tanda tsunami, sedangkan 23 persen yakin tempat tinggalnya cukup aman. Padahal, menurut Eko Yulianto, daerah teluk seperti Palu justru paling berpotensi untuk terjadinya tsunami.
Syarifah mengatakan, ketika krisis atau bencana terjadi, informasi yang dibutuhkan masyarakat tidak cukup dengan mengandalkan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). “Masyarakat juga butuh latar belakang informasi bencana yang akan mereka hadapi, sehingga mereka bisa bersiap,” kata Syarifah.
Kesiapsiagaan tersebut, kata dia, tidak bisa dibangun dalam setahun dua tahun. Isu tentang bencana juga harus diperbincangkan mulai dari dalam rumah.
Wakil Redaktur Pelaksana Kompas Try Harijono menambahkan, dalam situasi darurat, latar belakang informasi terkait bencana sangat dibutuhkan. Terlebih, untuk bencana yang jarang terjadi, seperti likuefaksi. Ilmuwan dapat menjadi salah satu sumber yang dapat dipercaya sehingga publik dapat tercerahkan.
Ini juga berkaitan dengan terputusnya komunikasi ketika gempa, tsunami, dan likuefaksi yang memukul sebagian wilayah di Sulawesi Tengah. “Saat itu, pemerintahan sipil tidak berjalan, sementara pihak kepolisian dan militer juga tidak bisa dihubungi,” kata Try.
Tekait hal itu, Eko Yulianto mengatakan, dalam sistem peringatan dini bencana Indonesia (InaTEWS) diatur bahwa komunikasi cadangan berada pada pihak Polri dan TNI. “Namun, dalam studi kami di Mentawai 2010 maupun Aceh 2012, memang belum berjalan komunikasi cadangan ini,” kata dia. (INSAN ALFAJRI)