DEPOK, KOMPAS — Pemerintah gencar membangun kawasan ekonomi khusus (KEK) di sejumlah daerah. Upaya itu diharapkan bisa menggerakkan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun, masyarakat setempat di sekitar KEK umumnya belum disiapkan menghadapi perubahan itu.
Kawasan ekonomi baru akan mengundang masuk penduduk luar. Tanpa ada kesiapan dari awal, situasi itu bisa memunculkan strata baru di masyarakat hingga rentan menimbulkan konflik antara warga setempat dan pendatang. Terlebih, jika manfaat dari pembangunan itu lebih banyak dinikmati warga pendatang.
"Data penduduk belum dijadikan acuan industri dan pemerintah daerah guna pengembangan kualitas penduduk agar siap menyambut perubahan," kata Guru Besar Kependudukan dan Lingkungan Hidup Universitas Negeri Padang Agus Irianto dalam seminar Implikasi Proyeksi Penduduk dalam Perencanaan Pembangunan di Depok, Kamis (8/11/2018).
Seminar tersebut diselenggarakan oleh Ikatan Praktisi dan Ahli Demografi Indonesia (IPADI) bersama Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).
KEK dibentuk pemerintah sebagai salah satu strategi guna menciptakan sumber-sumber ekonomi baru. Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional 2015-2035 menargetkan pembentukan 36 kawasan industri yang diprioritaskan di luar Jawa.
Keberlanjutan
Kepala Lembaga Demografi Universitas Indonesia Turro S Wongkaren mencermati hal serupa. Upaya melibatkan masyarakat setempat dalam pembangunan sejumlah infrastruktur dan KEK, baik bidang industri atau pariwisata, sebenarnya sudah dilakukan. Namun, asumsi yang digunakan sering tidak tepat atau berlebihan hingga memberi harapan semu ke masyarakat.
"Keberlanjutan pembangunan KEK juga perlu dipertimbangkan," katanya. Matinya sejumlah kota bekas pertambangan perlu jadi pelajaran bahwa masyarakat harus disiapkan saat sumber utama ekonomi wilayah mereka berubah. Jika tidak, kota tidak hanya ditinggalkan pendatang, tapi juga warga setempat.
Tak hanya menyiapkan penduduk, perkembangan kawasan sekitar yang menopang kawasan industri juga perlu disiapkan. Pengalaman sejumlah kota suburban di Jawa bisa jadi pelajaran. Migrasi besar tanpa kesiapan penataan wilayah rentan menimbulkan berbagai masalah, mulai dari kemacetan, terbatasnya jumlah dan kualitas fasilitas pendidikan dan kesehatan, hingga munculnya berbagai masalah sosial.
"Hingga kini belum ada desain, arah kebijakan migrasi, dan lembaga pemerintah yang berwenang menyusun kebijakan migrasi Indonesia," kata dosen Departemen Geografi dan Ilmu Lingkungan Universitas Gadjah Mada Sukamdi.
Berbagai persoalan terkait penduduk yang muncul dalam pembangunan ekonomi dan pengembangan wilayah menunjukkan pembangunan kependudukan belum jadi perhatian pemerintah daerah. Persoalan penduduk hanya jadi perhatian saat pemilihan umum, itupun hanya terkait jumlah pemilih tanpa ada strategi jelas menyiapkan kualitas penduduk.
"Kependudukan masih dipandang sebagai sektor yang menopang sektor pembangunan lain. Padahal, semua pembangunan sejatinya adalah tentang penduduk. Ujung dari pembangunan di semua sektor adalah penduduk," tambah Turro.
Ketua Umum IPADI Sudibyo Alimoeso mengakui isu kependudukan memang bukan isu yang menarik bagi pemerintah. Hasil dari pembangunan kependudukan tidak bisa dirasakan dalam waktu singkat sesuai umur periode politik. Belum lagi, pembangunan kependudukan masih sering dianggap sebatas program keluarga berencana.
"Penduduk adalah mesin pendorong pembangunan, pelaku sekaligus penikmat pembangunan," katanya. (MZW)