Nelayan Tradisional Soroti Agenda Konferensi Kelautan
Oleh
Yovita Arika
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Perwakilan nelayan tradisional dan rakyat pesisir menilai, pembahasan di Konferensi Kelautan atau Our Ocean Conference 2018 yang ke-5 di Bali pada 29-30 Oktober 2018 belum memperhatikan nelayan tradisional. Karena itu, mereka menggelar “Rembuk Rakyat Laut” di Depok, Jawa Barat, Minggu, (28/10/2018), untuk merumuskan deklarasi yang melibatkan nelayan untuk pemanfaatan laut.
Our Ocean Conference (OOC) akan membahas enam bidang, yakni polusi kelautan, area lindung kelautan, perlindungan maritim, perubahan iklim, perikanan berkelanjutan, dan ekonomi biru berkelanjutan. Dalam empat kali penyelenggaraan OOC sebelumnya, terdapat 633 komitmen yang dihasilkan dari keenam bidang tersebut (Kompas, 23/10/2018).
Sekretaris Jenderal Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Iing Rohimin dalam sambutannya mengatakan, “Rembuk Rakyat Laut” merupakan respons atas OOC 2018. “OOC 2018 yang membahas persoalan besar di Indonesia, tidak membawa aspirasi yang kami rasakan selama ini. Kami mempersoalkan privatisasi laut yang merugikan. Kami terusir dari tanah, laut, dan pesisir pantai,” kata dia.
Untuk itu, sejumlah diskusi tematik disiapkan, antara lain keamanan atau keadilan di laut, pendekatan berbasis hak asasi manusia untuk perikanan, karbon biru: perampasan laut terselubung, kedaulatan pangan dan agroekologi sebagai alternatif ekonomi biru, hak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat dari pencemaran air dan sampah, tata ruang laut sebagai legitimasi praktik industri ekstraktif, dan isu perempuan di perikanan.
Marthin Hadiwinata, Bidang Hukum dan Perlindungan KNTI, menambahkan, OOC belum menghasilkan narasi sejati tentang pengelolaan kelautan. Menurut dia, pembahasan di OOC hanya untuk mendorong investasi modal di sumber daya laut. “Sementara nelayan ini memangku hak asasi, jadi mereka juga berhak untuk menentukan pemanfaatan laut,” kata Marthin.
Dia menyoroti salah satu bidang pembahasan di OOC, yakni ekonomi biru berkelanjutan. Industri perikanan yang didorong oleh ekonomi biru, kata dia, adalah industri budidaya skala besar dan hanya menguntungkan sebagian kelompok.
“Contohnya industri ikan salmon. untuk memproduksi satu kilogram ikan salmon butuh empat kilogram ikan yang ditangkap di lautan, sehingga yang terjadi adalah eksploitasi terus-terusan dari industri perikanan skala besar,” katanya.
Marthin mengatakan, diskusi tematik yang diikuti sekitar 70 nelayan dan petambak ini akan menghasilkan deklarasi tentang pengelolaan dan pemanfaatan laut oleh nelayan tradisional. Lalu, deklarasi tersebut akan dibacakan di Istana Negara pada Senin, (29/10/2018).
Secara terpisah, Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan Brahmantya Satyamurti Poerwadi, mengatakan, dirinya butuh data yang lebih detail terkait agenda di OOC yang dipermasalahkan.
“Salah satu pembahasan di agenda pertemuan itu sustainable fisheries. Dalam agenda itu akan dibahas tentang bagaimana nelayan kecil untuk mendapatkan haknya. Intinya, Indonesia itu terkenal dengan kultur nelayan kecil, di OOC nanti pasti akan didiskusikan,” kata Brahmantya, saat dihubungi dari Jakarta.