JAKARTA, KOMPAS – Sebanyak 857 juta anak usia 0-9 tahun di negara-negara yang tidak memiliki aturan tentang pembatasan timbal, berisiko terpapar timbel. Termasuk dalam hal ini adalah anak-anak di Indonesia yang jumlahnya mencapai 48 juta jiwa. Karena itu pemerintah diminta lebih tegas membuat aturan terkait pembatasan kandungan timbel yang ada pada cat.
Organisasi kesehatan Dunia (WHO) menyatakan, tak ada batas aman bagi timbel dalam cat. Namun angka 90 ppm adalah angka aman yang dapat dicapai oleh industri. Di Indonesia, dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) 8011:2014 tentang cat dekoratif enamel disebutkan, standar batasan kadar timbal dalam cat 600 ppm. Namun pelaksanaannya bersifat sukarela, produsen cat tidak terikat untuk mengikuti standar tersebut.
Anak-anak lebih mudah terpapar timbel ketimbang orang dewasa. Berdasarkan WHO, untuk timbel yang ada di dalam debu, misalnya, terserap 50 persen pada anak-anak dan 10 persen pada orang dewasa.
Kandungan timbel banyak ditemui pada cat dekoratif berwarna terang yang digunakan pada media kayu dan besi. Toxics Program Manager BaliFokus, Krishna Bayumurti M Zaki mengatakan, cat berwarna terang ini banyak ditemui pada sekolah pendidikan anak usia dini.
“Anak-anak itu kan suka warna yang ngejreng-ngejreng. Cat yang terkelupas nantinya bisa menempel di tangan mereka dan bisa terhirup. Jadi, mereka berisiko terpapar timbel,” kata Khrisna, pada Pekan Internasional Pencegahan Keracunan Timbal 2018, di Jakarta, Jumat (26/10/2018).
Pemerintah lambat
Sonia Buftheim, Toxics Program Assistant BaliFokus mengatakan, sejak 2013 pihaknya sudah bertemu pihak terkait untuk membahas kandungan timbel dalam cat. Namun, respons pemerintah cenderung lambat.
Penelitian BaliFokus pada 2013 dan 2015 menunjukkan, kadar timbel cat yang beredar di Indonesia masih tinggi. Tahun 2015, misalnya, penelitian yang melibatkan 121 sampel dari 63 merek cat itu menemukan 83 persen sampel yang diuji mengandung timbal di atas 90 ppm.
“Kami ingin adanya peraturan menteri yang mengatur batasan kandungan timbal dalam cat sesuai dengan standar dunia, yakni 90 bagian per juta (ppm),” kata dia.
Sonia menilai, SNI 8011:2014 tidak cukup untuk menekan peredaran cat bertimbel. Terlebih, standar tersebut masih bersifat sukarela. Kalaupun standar itu diwajibkan, kata dia, tetap saja ada produk cat bertimbel tinggi beredar di pasaran.
“Lihat saja mainan anak-anak. Kan tidak semua ada logo SNI-nya,” kata dia.
Direktur Industri Kimia Hilir Kementerian Perindustrian Taufiek Bawazier mengatakan, SNI terkait batasan timbel cat yang selaras dengan WHO sedang dirumuskan. Untuk tahap awal, SNI yang ditargetkan siap tahun depan itu juga bersifat sukarela.
Setelah melalui pemetaan dampak regulasi, SNI yang baru tersebut akan diwajibkan. “SNI wajib akan lebih kuat karena produk yang tidak ikut SNI tidak boleh beredar di pasar. Di samping itu, aparat juga bisa bertindak jika ada produk cat yang tidak SNI,” kata Taufiek, saat dihubungi dari Jakarta.
Taufiek mengatakan, pemerintah bisa saja menerbitkan peraturan menteri terkait pembatasan timbal pada cat ini. “Namun, instrumen yang berlaku umum adalah SNI Wajib. Kalau SNI sukarela memang belum terlihat efektif di lapangan,” kata dia. (INSAN ALFAJRI)