JAKARTA, KOMPAS — Dampak perubahan iklim tidak dapat dihindari masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan. Di wilayah perkotaan perubahan iklim paling dirasakan oleh masyarakat miskin terutama kaum perempuan, anak, disabilitas, dan kelompok rentan lainnya, karena sarana perkotaan untuk merespon atau menghindari bahaya dan bencana iklim seperti banjir dan cuaca ekstrem masih minim.
Sementara keterlibatan masyarakat miskin perkotaan, terutama perempuan pesisir, dalam mengembangkan gagasan dan inisiatif membangun ketahanan ekonomi dan sosial untuk menghadapi perubahan iklim sering diabaikan dalam proses pengambilan keputusan. Karena itulah penting ada kebijakan dan program aksi yang responsif jender di berbagai kota-kota besar.
“Mengapa kebijakan yang responsif jender perlu? Karena kota mempunyai peran penting dalam melakukan berbagai aksi menghadapi perubahan iklim,” ujar Puspa Dewy, Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan, pada Konsultasi Nasional “Menuju Perubahan Iklim Perkotaan Responsif Jender” di Jakarta, Selasa (23/10/2018).
Ia menegaskan, kebijakan iklim berpotensi untuk membawa manfaat bagi semua, mulai dari meningkatnya kualitas udara dan kesehatan, sampai pada kota yang lebih nyaman untuk hidup di dalamnya, meningkatnya daya tahan dan peningkatan lapangan kerja
Kota-kota di Indonesia, menurut Dewy, seharusnya proaktif menyikapi dampak perubahan iklim, karena hingga kini semakin banyak kota di dunia yang mengembangkan dan mengimplementasi respon terhadap perubahan iklim. Mulai dari upaya mitigasi maupun adaptasi masyarakat perkotaan menerima dampak dari perubahan iklim, termasuk kebijakan untuk merespons perubahan iklim.
“Kebijakan dan program aksi yang responsif jender sangat penting, sebab dari berbagai pengalaman selama ini, sejumlah kebijakan yang buta jender justru memperbesar ketidaksetaraan antara perempuan dan laki-laki,” papar Dewi.
Karena itu, selama dua hari berturut-turut (23-24 Oktober) Solidaritas Perempuan Perempuan dan Solidaritas Perempuan Anging Mammiri bekerja sama dengan Aksi! for gender, social and ecological justice dan GenderCC-Women for Climate Justice dalam sebuah konsorsium bernama GUCCII (Gender into Urban Climate Change Polucy Initiatives ini Indonesia) melakukan kajian gender atas kebijakan iklim perkotaan.
Adapun Aksi! for gender, social and ecological justice adalah sebuah organisasi pemantau pendanaan iklim berbasis di Jakarta, sementara GenderCC-Women for Climate Justice adalah sebuah internasional jaringan organisasi perempuan untuk isu perubahan iklim berbasis di Berlin.
Kajian di Makassar dan Jakarta
Pertemuan Konsultasi Nasional yang dihadiri Philipp Schukat, Lead Advisor Climate Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ) GmbH, membahas realitas aksi iklim di perkotaan sebagai hasil turunan kebijakan iklim di tingkat nasional dengan memperkenalkan temuan kajian gender atas kebijakan dan aksi iklim di Kota Makassar (Sulawesi Selatan) dan Jakarta (DKI Jakarta). Hadir juga Ketua Bidang Perubahan Iklim Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Helsyanita.
Kajian tersebut dilakukan sejak 2016, menggunakan metode GAMMA (Gender Assesment and Monitoring for Mitigation and Adaptation) yang meliputi penyusunan data dasar, wawancara pemerintah kota, kajian kepustakaan dan juga konsultasi kampung.
Di Kota Makassar, kajian dilakukan dalam bentuk dua konsultasi kampung di Kelurahan Cambaya dan Kelurahan Buloa-Tallo. Adapun di Kota Jakarta dilakukan dua konsultasi kampung di Kelurahan Cilincing dan Rawajati.
Temuan kajian jender di dua kota tersebut disampaikan Wahidah Rustam dan Marhaini Nasution. Menurut Wahidah, Makassar yang terdiri dari daratan, pesisir, dan kepulauan, rentan terhadap ancaman iklim seperti banjir, abrasi, gempa, dan badai yang mengakibatkan kerusakan dan kerugian. Di Makassar, Program Lorong Garden (Longgar) merupakan kebijakan aksi perubahan iklim.
Sementara di Jakarta, menurut Marhaini, memiliki berbagai bencana iklim diantaranya, badai El Nino yang menyebabkan terjadinya anomali suhu, kenaikan permukaan air laut yang dapat mempercepat erosi di wilayah pesisir utara Jakarta, sehingga memicu intrusi (penerobosan) air laut ke air tanah dan merusak lahan rawa pesisir serta menenggelamkan pulau-pulau kecil.
Selain itu ada bencana banjir rutin yang berasal dari meluapnya 13 sungai yang melewati Jakarta. Jakarta Program Ruang Terbuka Hijau Tanpa Penggusuran.