Pengembangan Energi Terbarukan Hadapi Perubahan Iklim
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS—Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan mengatakan pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) dihadapkan pada perubahan iklim yang kian nyata.
“Sepuluh tahun lalu saat masih di Kereta Api (PT KA) di Bandung, jam 6 pagi itu sejuk. Sekarang jam 8 pagi rasanya seperti di Jakarta,”kata dia, Rabu (18/10/2018) saat menjadi pembicara kunci Seminar Energi Terbarukan dan Sistem Energi Pintar yang diselenggarakan Universitas Kristen Indonesia, Cawang, Jakarta.
Contoh lain perubahan iklim telah terjadi, kata dia, pada 20-30 tahun lalu waktu musim hujan dan musim kemarau jelas dan dapat diprediksi. Saat ini, musim bergeser dan berubah-ubah. Adapun alasan pengembangan EBT disebabkan cadangan energi fosil menurun, itu dinilai merupakan pernyataan popular.
Ia mengatakan cadangan energi fosil tergantung teknologi. Contohnya, sumur lapangan Banyuurip Blok Cepu selama 20 tahun dieksplorasi Pertamina, tidak mengeluarkan minyak. Dalam 10 tahun terakhir dikelola ExxonMobil menghasilkan 200.000 barel minyak per hari. Contoh lain, blok Masella di Perairan Maluku serta blok Tangguh di Papua Barat yang telah dieksploitasi relatif baru setelah ditemukan cadangan gasnya.
Ditanya keterkaitan EBT dan perubahan iklim serta laporan terbaru Panel Ahli Antarpemerintah (IPCC), usai acara, ia tidak menjawab. Ia menyebutkan pengembangan EBT di Indonesia dimulai 40-50 tahun lalu melalui tenaga hidro di waduk-waduk. Ini disusul panas bumi, tenaga matahari, biomassa, tenaga angina, dan arus laut.
“Apa pun yang dibangun, harganya harus terjangkau masyarakat. Energi terbarukan ini bukan semata-mata untuk mengatasi energi fosil tapi juga layanan listrik yang lebih terjangkau,” kata dia.
Apa pun yang dibangun, harganya harus terjangkau masyarakat. Energi terbarukan ini bukan semata-mata untuk mengatasi energi fosil tapi juga layanan listrik yang lebih terjangkau.
Terkait tarif listrik energi terbarukan yang tak sekompetitif dengan energi fosil, banyak pihak menilai karena biaya energi fosil tak memperhitungkan dampak lingkungan maupun belum menggunakan teknologi penangkap karbon. Selain itu, energi fosil mendapat berbagai kemudahan maupun subsidi sehingga sukar disamai dengan energi terbarukan.
Direktur Pusat Riset dan Studi Kebijakan Penerapan Energi Terbarukan Universitas Kristen Indonesia Atmonobudi Soebagio mendorong agar pemerintah menggiatkan pembangunan solar panel photovoltaic di pulau-pulau serta daerah terpencil.
Ia pun mendorong agar diciptakan sistem yang mendorong masyarakat berkontribusi pada penyedia listrik dari energi terbarukan, missal dari solar panel di atap (solar rooftop). Hingga kini, peraturan menteir ESDM terkait hal ini belum juga terbit meski telah dijanjikan sejak beberapa bulan lalu.
Jika insentif itu diciptakan, kebutuhan untuk mengejar bauran energi 23 persen EBT pada tahun 2025 tidak hanya mengandalkan program yang dibiayai APBN. Masyarakat bisa membangun sendiri solar roof top dan menjualnya pada PLN atau minimal mengurangi tagihan listrik bulan selanjutnya.