JAKARTA, KOMPAS—Wahana Lingkungan Hidup, Lembaga Bantuan Hukum dan Amnesty Internasional Indonesia mendesak penghentian kasus penghinaan lambang negara yang menjerat pejuang lingkungan hidup Sawin dan Sukma. Kasus dengan tuduhan memasang bendera negara secara terbalik itu dianggap bentuk kriminalisasi oleh Kepolisian dan Kejaksaan Negeri Indramayu.
Sawin dan Sukma ditahan untuk kedua kali pada 27 September 2018 dan dijerat dengan pasal 24 huruf a Undang-Undang Nomor 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan. Saat ini, mereka menjadi tahanan kejaksaan dan menanti kepastian perpanjangan atau penangguhan penahanan.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Bandung Willy Hanafi, Selasa (16/10/2018), di Jakarta, mengatakan, kasus itu bermula dari gugatan warga Desa Mekarsari, Indramayu terhadap izin lingkungan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap Batubara Indramayu 2. Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung memenangkan gugatan warga pada 6 Desember 2017. Sawin dan Sukma memasang bendera negara dan spanduk di lahan pertanian pada 14 Desember 2017, sebagai ucapan syukur keberhasilan memenangkan gugatan.
"Tidak ada konfirmasi atau pemanggilan oleh aparat sehubungan dengan pemasangan bendera terbalik. Warga disangkakan memasang bendera terbalik juga tidak logis karena setelah tiga hari. Ada indikasi kriminalisasi terkait berhasilnya warga memperjuangkan hak lingkungan sehat," kata Willy.
Ada indikasi kriminalisasi terkait berhasilnya warga memperjuangkan hak lingkungan sehat.
Sawin, Sukma, dan Nanto warga lain ditangkap oleh aparat Polsek Patrol sebelum dilimpahkan ke Polres Indramayu pada 17 Desember 2017. Mereka dituduh memasang bendera negara secara terbalik.
Alat bukti yang digunakan oleh penyidik adalah foto dua orang warga sedang melepas spanduk dan bendera serta Bintara Pembina Desa (Babinsa) yang menelepon. Selain itu, penyidik tidak menyebutkan identitas pelapor kasus ini.
"Babinsa ini tidak muncul dalam laporan pemeriksaan. Tidak dijelaskan juga pelapornya. Warga dengar ada komunikasi Babinsa dengan kepolisian tentang bendera terbalik. Istri Sawin turut melihat Babinsa melaporkan bahwa melihat pemasangan seperti bendera Polandia," ucapnya.
Kriminalisasi
Amnesty Internasional Indonesia menyebut ada dua pola kriminalisasi yang sering menimpa pejuang lingkungan hidup di Indonesia. Pola pertama yaitu tuduhan penyimpangan atau melawan simbol-simbol negara. Sedangkan, pola kedua yaitu tuduhan mengambil atau menggunakan hak milik orang lain sehingga dikenakan pasal kriminal.
Direktur Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid menjelaskan, kasus yang menimpa Sarwin dan Sukma termasuk dalam pola pertama. Secara hukum, mereka sudah memenangkan gugatan di PTUN Bandung sehingga tidak ada alasan untuk kriminalisasi melalui tuduhan menghina bendera negara.
"Penegak hukum membenturkan petani dan buruh tani itu dengan kepentingan negara, serta menggunakan sesama mereka sebagai saksi dan alat bukti. Ini sama saja rekayasa dengan membuat keterangan sesuai keinginan mereka. Seharusnya independen, fokus ke perkara bukan ke kriminalisasi," katanya.
Yati, istri Sawin memastikan suaminya tidak memasang bendera secara terbalik. Hal itu dibuktikan dengan satu foto yang menunjukan Sawin memegang bendera yang dipasangnya. Posisi bendera pada foto tersebut tidak terbalik.
"Saya yakin, suami saya tidak akan memasang bendera terbalik. Saya tahu waktu suami saya merakit bendera di rumah posisinya benar," kata Yati.
Hal yang sama juga diungkapkan Erawati, istri Sukma. Ia mengaku kecewa karena ada orang yang melaporkan suaminya memasang bendera terbalik. "Saya lihat bendera yang dibawa posisinya benar, tidak terbalik," ucapnya. (FRANSISKUS WISNU DANNY)