JAKARTA, KOMPAS— Peran Bank Dunia dalam pengentasan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan sosial di dunia perlu ditingkatkan. Hal itu menjadi salah satu fokus dalam agenda Pertemuan Tahunan Bank Dunia dan IMF di Bali yang akan dihadiri oleh lebih dari 20 ribu peserta dari 189 negara, pada 8-14 Oktober 2018.
Pertemuan pun menandai dimulainya penerapan kerangka kerja lingkungan hidup dan sosial baru yang disebut Enviromental and Social Framework (ESF) terhadap proyek investasi yang pembiayaannya dimulai 1 Oktober 2018. Jadi ESF menggantikan standar keamanan atau safeguard Bank Dunia sebelumnya, yang selama ini digunakan untuk menilai permohonan utang, syarat-syarat yang harus dipenuhi negara peminjam dalam proses, pelaksanaan, dan evaluasi proyek yang pembiayaannya berasal dari hutang.
ESF yang disetujui pada Agustus 2016 ini terdiri dari 10 standar yaitu:
Penilaian dan Manajemen Lingkungan Hidup dan Resiko sosial beserta dampaknya (Assessment and Management of Environmental and Social Risks and Impacts)
Buruh dan Kondisi Kerja (Labor and Working Conditions)
Efisiensi Sumberdaya dan Pencegahan Polusi dan manajemen (Resource Efficiency and Pollution Prevention and Management)
Kesehatan dan Keselamatan Masyarakat (Community Health and Safety)
Akuisisi tanah, pembatasan atas penggunaan tanah dan pemindahan secara paksa (Land Acquisition, Restrictions on Land Use and Involuntary Resettlement)
Konservasi biodiversity dan Manajemen berkelanjutan Sumber daya alam (Biodiversity Conservation and Sustainable Management of Living Natural Resources)
Masyarakat Adat (Indigenous Peoples/Sub-Saharan African Historically Underserved Traditional Local Communities)
Warisan Budaya (Cultural Heritage)
Perantara Keuangan (Financial Intermediaries)
Keterlibatan para pihak dan pengungkapan informasi (Stakeholder Engagement and Information Disclosure)
Sepuluh standar itu kini bisa menggunakan sistem negara peminjam. Dengan kata lain, Indonesia akan menggunakan sistem atau standar di Indonesia untuk menjalankan proyek yang dibiayai utang Bank Dunia.
“Indonesia memiliki standar yang rendah apalagi terdapat deregulasi baru untuk yang terkait percepatan ekonomi, termasuk pembangunan infrastuktur,” kata Edo Rakhman, Manajer Pembelaan dan Respon Cepat Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Sabtu (6/10/2018) di Jakarta.
Ia mencontohkan Peraturan Presiden nomor 3/2018 yang memberi jalan pintas terkait izin lingkungan pada proyek-proyek strategis nasional. Ada pula UU Pengadaan Tanah bagi proyek strategis nasional yang menempatkan masyarakat/pihak tergusur pada posisi lemah. “ Kami menolak penggunaan sistem perlindungan nasional untuk lingkungan dan sosial dalam proyek pembangunan yang dibiayai Bank Dunia,” katanya.
Kami menolak penggunaan sistem perlindungan nasional untuk lingkungan dan sosial dalam proyek pembangunan yang dibiayai Bank Dunia.
Kerusakan lingkungan
Secara terpisah, Andi Muttaqien dari Lembaga Studi & Advokasi Masyarakat (ELSAM) mengatakan gelombang kerusakan lingkungan hidup dan sosial serta pelanggaran HAM akan terjadi bila tetap memakai sistem hukum Indonesia.
“Kami menuntut pemerintah Indonesia untuk memperbaiki sistem perlindungan nasional terhadap lingkungan dan sosial di Indonesia sehingga tidak lebih rendah dari standar perlindungan hak asasi manusia dan perlindungan lingkungan dunia. Selama sistem itu belum berjalan, kami menolak penggunaan sistem perlindungan nasional sebagai acuan proyek Bank Dunia,” ujarnya.
Edo Rakhman menyatakan Indonesia memiliki sejarah kelam proyek Bank Dunia yang menggunakan peraturan perundangan nasional. Ia menyebutkan proyek Bendungan Kedung Ombo yang dibangun tahun 1985 - 1991 yang sebagian dananya dibiayai Bank Dunia, hingga kini menyisakan permasalahan sosial dan ekonomi warga yang tergusur dan terpaksa mengikuti transmigrasi.
Ia menyebutkan hasil riset tim Katadata dan Walhi menunjukkan pembangunan waduk ini masih menyisakan persoalan akibat penanganan korban pembangunan belum tuntas hingga sekarang. Penelitian yang dilakukan di Jawa Tengah dan Bengkulu (tempat transmigrasi) menunjukkan adanya dampak sosial ekonomi berkepanjangan akibat proyek yang didanai oleh Bank Dunia tersebut.
Proyek pembangunan waduk 59.340 hektar itu berada di tiga daerah daerah, Kabupaten Sragen, Boyolali, dan Grobogan, di Jawa Tengah. Proyek ini berdampak pada 37 desa dan 5.390 keluarga. Lahan pertanian produktif yang dimiliki warga hilang atau berkurang akibat terendam air waduk, Padahal 87 persen warga merupakan petani.
Kini, setelah 30 tahun waduk beroperasi, masyarakat yang jadi korban pembangunan proyek menghadapi kesulitan ekonomi dan sosial. Mereka juga terjerat kemiskinan akibat proyek ini. Para keluarga korban memperjuangkan hak mereka karena merasa dirugikan akibat pembangunan waduk.
“Kami mendesak agar Bank Dunia bertanggung jawab terhadap proyek gagal yang menyebabkan penggusuran dan memiskinkan rakyat hingga sekarang dengan melakukan penghapusan utang. Selain itu Bank Dunia harus tidak mendanai lagi proyek infrastruktur besar dan proyek yang mengakibatkan penggusuran baik di Indonesia dan negara lain,” ungkapnya.