Contoh Baik Pemulihan Hutan Di Nagrak Bisa Diperluas
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·2 menit baca
SUKABUMI, KOMPAS—Perluasan kawasan Taman Nasional Gede Pangrango tahun 2003 membawa konsekuensi pemulihan lahan eks hutan produksi seluas 7.665 hektar. Itu tak mudah karena sebagian lahan tersebut berubah menjadi kebun dan sawah yang dikelola masyarakat.
Di sekitar Kelurahan Cihanjawar, Nagrak, Kabupaten Sukabumi, misalnya, sekitar 300 ha bekas hutan produksi, bagian dari 7.665 ha, yang pernah berupa kebun dan sawah kini ditutupi pepohonan berdiameter 10-15 sentimeter yang ditanami sejak 2008. Pemulihan ekosistem itu digarap Balai Besar Taman Nasional Gede Pangrango bersama Conservation International (CI) Indonesia dan Daikin Industries bernama Green Wall.
” Kawasan itu tadinya gundul, tidak ada pohon, kini banyak pohon tanpa warga tercederai. Ini pembelajaran baik,” kata Mimi Murdiah, Kepala Bidang Teknis Balai Besar Taman Nasional Gede Pangrango, Selasa (2/10/2018), di Green Wall, Cihanjawar.
Kawasan itu tadinya gundul, tidak ada pohon, kini banyak pohon tanpa warga tercederai. Ini pembelajaran baik.
Kunci keberhasilan pemulihan hutan di Green Wall adalah pendekatan intensif kepada warga. Itu digarap CI Indonesia dengan tinggal bersama warga dan menyentuh kebutuhan masyarakat, antara lain air bersih. Warga yang biasanya mengambil air di mata air sejauh 1-4 kilometer diberikan fasilitas saluran pemipaan dan tangki air.
Hal itu memberikan kepercayaan kepada warga bahwa pemulihan ekosistem bermanfaat bagi masyarakat. ”Tak hanya kepentingan konservasi, tetapi juga kepentingan warga. Itu sesuai slogan kami bahwa hutan hejo, masyarakat ngejo (hutan hijau dan warga mendapat manfaat),” katanya.
Pelibatan masyarakat
Sudjoko, Kepala Seksi Wilayah 4 Balai Besar TN Gede Pangrango, mengatakan, warga dilibatkan dalam penanaman dan pemeliharaan. Hasilnya, kini ada pepohonan asli TN Gede Pangrango, seperti rasamala, puspa, manglid, suren, janitri, saninten, dan salam.
Di batas luar, TN Gede Pangrango mengizinkan penanaman pohon buah yang bisa dipetik warga, seperti aren, nangka, rambutan, pala, dan jengkol, sejauh 30 meter. ”Pepohonan buah ini jadi pembatas tegas area taman nasional,” ujarnya.
Hasilnya, mata air yang mengering kini memancarkan air. Itu membuktikan kepada warga saat hutan tak lagi gundul, warga mendapat manfaat berupa air untuk pengairan sawah hingga kolam ikan.
Selain itu, kawasan tersebut kerap didatangi berbagai satwa hutan. Menurut kamera tersembunyi yang dipasang CI Indonesia, satwa-satwa itu antara lain rusa, babi hutan, kucing hutan, dan macan tutul jawa.
”Kami harap contoh baik ini ditularkan kepada balai (taman nasional lain). Banyak daerah seperti ini (hutan terdegradasi) yang butuh dukungan NGO (organisasi nonpemerintah),” kata Sahdin Zunaedi, Kepala Subdirektorat Pemulihan Ekosistem Kawasan Konservasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Menurut Anton Ario, Manajer Program untuk Gedepahala CI Indonesia, biaya pemulihan hutan seluas 300 ha selama 10 tahun penerapan program itu sekitar Rp 4,5 miliar.