JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Indonesia mengajukan penggunaan satelit internasional resolusi tinggi ke UN Spider, badan yang memfasilitasi penggunaan satelit di angkasa untuk keperluan darurat. Satelit itu berguna untuk melihat citra di Donggala dan Palu sebagai bahan analisis kaji cepat penanganan wilayah terdampak gempa. Saat ini, pemerintah baru mendapat citra satelit tanggal 6 Juni 2018.
“Kami baru mendapat citra satelit sebelum terjadi gempa dan tsunami. Kami masih menunggu citra satelit setelah kejadian gempa. Dua citra itu akan digunakan untuk memetakan wilayah terdampak karena resolusinya sangat tinggi sehingga objeknya bisa terlihat jelas,” kata Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho, saat jumpa pers di Jakarta, Sabtu (29/9/2018).
Jika ada satelit yang melintas di Donggala dan Palu setelah kejadian gempa dan tsunami, pemerintah akan segera dikirimkan citra tersebut. Saat ini, pemerintah masih menunggu hasil citra satelit itu sambil terus melakukan penanganan di wilayah terdampak. Citra itu diperlukan untuk memudahkan identifikasi lokasi mana saja yang terdampak. Hal itu akan sangat membantu karena akses udara dan darat menuju lokasi terdampak masih sulit dijangkau.
Untuk mengatasi hal itu, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat fokus memperbaiki infrastruktur jalan, jembatan dan tanggul. Jika diperlukan, akan dibangun jembatan darurat untuk mempermudah mobilitas. Sementara itu, Bandara di Palu sudah bisa digunakan terbatas, yakni untuk keperluan bencana. Para penumpang yang ada di Bandara Mutiara Sis Al Jufri Palu sudah berhasil dievakuasi ke Makassar menggunakan pesawat milik TNI ke Lapangan Udara Hasanuddin, Makassar, Sabtu sore. Untuk penerbangan komersil, ditargetkan Bandara itu bisa digunakan pada 4 Oktober 2018.
Hingga pukul 15.00, BNPB mencatat ada gempa susulan sebanyak 131 kali, lima di antaranya dirasakan oleh penduduk. Jumlah korban jiwa sementara, mencapai 384 orang. Jumlah korban hilang sementara, mencapai 29 orang. Jumlah korban yang mengalami luka berat sebanyak 540 orang. Jumlah pengungsi di Kota Palu diperkirakan 16.732 orang yang tersebar di 24 titik. BNPB masih terus melakukan pendataan dengan berkoordinasi kepada lembaga-lembaga yang ada di lokasi melalui komunikasi satelit. Sedangkan, masyarakat di Palu hanya bisa menggunakan layanan komunikasi dengan kartu XL.
“Layanan Telkomsel berangsur pulih dan diprioritaskan bagi pemerintah dan instansi di Toli-toli, Poso, dan Luwuk,” ujar Sutopo.
Ia mengatakan, sejumlah tenaga bantuan terus dikirimkan dari kota penyangga dan pemerintah pusat terus dikirimkan. Disaster Victim Identification (DVI) Polri menerjunkan 16 personel dari Pusat Kedokteran dan Kesehatan Polri. Diperkirakan ribuan TNI dan Polri sedang menuju lokasi melalui jalur darat. Mereka tidak melalui jalan nasional karena akses jalan masih rusak dan tidak bisa dilalui.
Sutopo mengatakan, komunikasi ke Donggala masih belum bisa dilakukan. Selain itu, listrik di sana juga diperkirakan mati total.
“Komunikasi dengan pemerintah daerah di Donggala belum bisa dilakukan. Tenaga bantuan dari daerah di sekitar Donggala sudah masuk, tetapi komunikasi terputus setelah mereka masuk wilayah Donggala. Untuk itu, perbaikan jalur komunikasi menjadi sangat penting,” ujar Sutopo.
Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia, Sukmandaru Prihatmoko, mengatakan, sesar Palu-Koro akan terus diteliti karena memiliki sejarah panjang gempa. Setidaknya ada 11 kali gempa di Sulawesi sejak 1927. Hasil penelitian itu, menurutnya penting sebagai pertimbangan pembangunan bagi masyarakat dan pemerintah. “Harapannya sebagai pengingat masyarakat, pemerintah pusat, dan pemerintah daerah,” ujar Sukmandaru.
Ia mengatakan, sesar gempa Palu-Koro notabene sesar geser. Gempa akibat sesar ini biasanya tidak menimbulkan tsunami. Menurutnya, tsunami terjadi karena adanya longsoran tebing di bawah laut sehingga menyebabkan tsunami. Hal itu terlihat dari air laut yang berwarna coklat yang menerjang Poso. (SUCIPTO)