JAKARTA, KOMPAS — Gempa susulan terus terjadi setelah gempa bermagnitudo 7,4 yang berpusat di Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, Jumat (28/9/2018) sore. Meski terus terjadi gempa susulan, tren kekuatannya cenderung menurun. Masyarakat diminta tetap waspada.
Hingga Sabtu pukul 16.30 WIB, BMKG mencatat 137 kali gempa susulan dengan kekuatan bervariasi, mulai dari M 2,9 hingga M 6,3. Posisi gempa berada di kedalaman sekitar 10 kilometer dan tidak berpotensi tsunami.
Kepala BMKG Dwikorita mengatakan, dari jumlah tersebut, belum diketahui berapa gempa yang bisa dirasakan. BMKG belum bisa mengecek langsung data ke lapangan karena belum bisa mengakses lapangan dan komunikasi dengan BMKG di daerah terputus.
“Memang ada lonjakan (jumlah gempa), tetapi tren (magnitudonya) menurun. Masyarakat jangan panik, tetapi tetap waspada,” kata Dwikorita di Jakarta, Sabtu (29/9/2018). Gempa susulan diperkirakan akan terus terjadi beberapa hari hingga beberapa minggu ke depan.
Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Rahmat Triyono menjelaskan, rangkaian gempa ini diakibatkan oleh aktivitas sesar Palu-Koro. Gempa-gempa susulan yang terjadi sejajar dengan sesar Palu-Koro, yaitu dari Palu ke wilayah Koro di selatan.
“Jadi Sulawesi seolah-olah terbelah dua, sisi barat dan timur. Belahannya mulai dari Palu ke selatan (Koro), bahkan (kalau diteruskan) ke atas masuk ke Selat Makassar. Sumber gempa ada di darat, meskipun demikian pecahannya (rupture) sampai ke laut. Gempa akan berdampak pada sepanjang jalur sesar itu,” kata Rahmat.
Rahmat mengatakan, gempa Donggala tidak berkaitan dengan gempa di Lombok karena mekanismenya yang berbeda. Gempa Lombok disebabkan oleh sesar naik Flores, sedangkan gempa Donggala disebabkan sesar mendatar Palu-Koro. “Mekanismenya berbeda, dampak juga berbeda,” ujarnya.
Meski tidak berkaitan, menurut Dwikorita, gempa di Donggala dan Lombok memiliki kesamaan karakteristik. Karakteristik kedua gempa ini berbeda dengan gempa-gempa sebelumnya dan sesuatu yang baru bagi BMKG.
Sebelum terjadi gempa M 7,4 di Donggala, terjadi gempa M 6 di lokasi yang tidak jauh dari sana dengan rentang waktu sekitar 3 jam. Sementara itu, di Lombok jarak antara gempa pertama dengan gempa kedua (yang lebih besar) sekitar 19 hari.
“Ada kesamaan dari kecil menjadi besar. Kita sedang menganalisis lebih mendalam. Yang paling penting sekarang menyelamatkan warga terlebih dahulu,” katanya.
Turunkan tim
BMKG siap menurunkan tim ke lokasi untuk mengecek kondisi di lapangan untuk memvalidasi data yang diterima sensor, misalnya tentang pengaruh tingkat guncangan terhadap kerusakan bangunan. Data itu diperlukan untuk mendukung proses rekontruksi.
Selain itu, tim juga akan melakukan survei mikrozonasi sebagai bahan masukan dalam tata ruangan dan rekonstruksi pascagempa. Dengan demikian, lokasi bangunan-bangunan vital seperti jembatan, terowongan, dan bendungan disesuaikan dengan amplifikasi tanah dan batuan di lokasi.
Tim BMKG juga akan melakukan pendampingan dan sosialisasi kepada masyarakat. “Kita akan mendampingi masyarakat, menjelaskan apa yang terjadi dan apa yang perlu dilakukan. Dalam kondisi cemas, jangan mudah termakan hoaks,” ujar Dwikorita.
Rahmat menambahkan, tim BMKG juga akan memasang sekitar 20 seismograf portable di sekitar sesar Palu-Koro. Adanya tambahan seismograf ini, data gempa menjadi lebih akurat. (YOLA SASTRA/E04)