MANGGARAI TIMUR, KOMPAS — Pengelolaan sumber air secara tepat dan efisien menjadi kebutuhan di wilayah yang mengalami kekeringan pada musim kemarau. Perawatan mata air-mata air hendaknya juga diutamakan guna menjaga debit air tetap besar.
Hal itu akan diterapkan di Paroki Santo Damiani yang mencakup enam dari 24 desa di Kecamatan Poco Ranaka, Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur. Masyarakat di daerah itu mengalami kekurangan air di musim kemarau. Padahal, di sekitar wilayah itu ada sumber-sumber air yang bisa dimanfaatkan.
”Umumnya, warga masih berjalan ratusan meter hingga dua kilometer untuk mengambil air dari mata air terdekat di bawah Desa Bea Muring,” kata Romo Marcelus Hasan, Pastor Kepala Paroki Santo Damiani di Desa Bea Muring, Kecamatan Poco Ranaka, Manggarai Timur, Kamis (27/9/2018).
Umumnya, warga masih berjalan ratusan meter hingga dua kilometer untuk mengambil air dari mata air terdekat di bawah Desa Bea Muring.
Ia menjelaskan, di sekeliling mata air tersebut sudah ditembok oleh pemerintah kabupaten setempat untuk membuat embung. Akan tetapi, konstruksi yang seadanya mengakibatkan tembok di beberapa sisi retak. Adapun dasar embung tidak disemen dan masih berupa tanah. Hal ini membuat embung tidak bisa menampung air karena langsung diserap tanah.
Pada musim kemarau, warga harus mengantre berjam-jam demi mengisi jeriken di mata air itu. Satu jeriken berukuran lima liter membutuhkan waktu 1 menit 44 detik agar terisi penuh. Biasanya satu warga membawa enam hingga delapan jeriken. Di pagi hari, mereka mengantre sejak pukul 04.00. Air itu yang akan digunakan untuk minum, masak, mandi, dan menyiram kebun sayur.
Videlis Vigis (42), warga Desa Bea Muring, mengungkapkan, panen kebun sayurnya berkurang hingga setengah daripada ketika musim hujan. Padahal, luas lahannya tidak sampai setengah hektar. ”Setiap hari saya harus bolak-balik lima sampai enam kali ke mata air buat mengisi jeriken. Di sana harus antre pula,” ujarnya.
Terkait listrik, warga mengandalkan pembangkit listrik mikrohidro (PLTMH) dari Sungai Wae Nuri yang terletak dua kilometer di utara Desa Bea Muring. Di musim kemarau, butuh 17 jam agar air sungai di parit pengaliran ke dinamo PLTMH bisa mencapai ketinggian 1,5 meter. Setelah itu, baru pintu air dibuka agar air menggerakkan dinamo. Debit air itu hanya cukup memberi penerangan selama tiga jam. Itu pun tidak stabil.
Untuk air minum, sebenarnya ada pipa dari perusahaan air minum yang mengalirkan air dari Danau Rana Poja yang berjarak 15 kilometer di selatan Bea Muring. ”Masalahnya, pipa banyak yang bocor dan perbaikannya tidak baik. Akhirnya, air di keran rumah sering tersendat. Kami tetap harus mengambil dari mata air sehingga tidak ada perubahan berarti,” kata Damianus Jeot (62).
Restorasi bantaran sungai
Selain perbaikan infrastruktur pengaliran air. Diperlukan juga pelatihan konservasi air di wilayah Paroki Santo Damiani. Sampah plastik merupakan masalah yang paling banyak ditemukan. Di mata air Bea Muring, misalnya, berserakan sampah plastik, seperti bungkus detergen, sabun cuci, dan botol sampo sisa warga yang mencuci pakaian ataupun mandi di sana.
Bahkan, di Nteweng, mata air yang akan dimanfaatkan sebagai sumber air minum baru oleh warga juga dipenuhi sampah. Akibatnya, air menjadi kehitaman. Romo Marcelus menjelaskan, saat ini ia dan warga bergotong royong membersihkan mata air itu sebelum konstruksi pipa pengaliran dimulai.
Selain itu, perawatan lingkungan merupakan keniscayaan. Warga mengeluhkan debit air di Sungai Wae Nuri yang terus turun. Hal itu disebabkan di bantaran sungai tak ada lagi pepohonan. Hanya ada semak dan tumbuhan paku-pakuan yang tidak bisa mengikat air.
Manajer Senior untuk Perencanaan Konservasi dan Kemaritiman Yayasan Konservasi Alam Nusantara Glaudy Perdanahardja ketika berbicara di rapat warga mengatakan, warga bisa menanam pohon buah-buahan di sepanjang tebing sungai. Pohon buah memiliki akar tunjang yang mengikat air sekaligus menjaga agar tebing tidak longsor. Selain itu, pohon buah juga tidak akan ditebang untuk kayu.
”Sebagai pengganti kayu, bisa ditanam bambu di sepanjang bantaran sungai. Bambu cepat sekali tumbuh dan bisa dimanfaatkan untuk konstruksi. Rumpun bambu juga merupakan rumah bagi ikan yang bisa menjadi sumber makanan,” paparnya.
Warga bekerja sama dengan Yayasan Coca Cola untuk merestorasi wilayah bantaran sungai. Yayasan ini juga mensponsori pembuatan bak dan pipa untuk pengolahan serta pengaliran air minum dari mata air Nteweng ke rumah-rumah warga.