JAKARTA, KOMPAS – Pelaksanaan tata kelola hutan masih bermasalah. Penyimpangan perizinan dan adanya indikasi korupsi menjadi hambatannya. Pemerintah didorong untuk melakukan inovasi, yaitu dengan mengubah orientasi hasil kerja dari yang bersifat administratif menjadi praktis.
“Tata kelola hutan itu buka tentang regulasi formal saja, melainkan tentang praktiknya di lapangan. Proses dan mekanisme tata kelola hutanlah yang penting,” kata Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dan Penasihat Senior Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Hariadi Kartodihardjo, di Jakarta, Rabu (19/5/2018). Hal ini disampaikan dalam acara Pojok Iklim bertema Masalah Tata Kelola Hutan dan Lingkungan dalam Era Perubahan Iklim dan Inovasinya.
Ia mengatakan, ada sejumlah inovasi yang dapat dilakukan untuk mengatasi persoalan tata kelola hutan. Salah satunya adalah dengan melakukan pendekatan ke masyarakat yang bersinggungan langsung dengan hutan. Dengan ini, fakta lapangan dapat digunakan sebagai tolak ukur kinerja suatu lembaga, khususnya dalam hal tata kelola hutan.
“Tidak cukup hanya menganandalkan APIP (Aparat Pengawas Intern Pemerintah). Hendaknya masyarakat juga punya peran supaya bisa menjalankan fungsi kontrol tata kelola hutan,” katanya.
Menurutnya, produk nyata dari tata kelola hutan yang baik adalah kelestarian hutan. Namun kenyataannya, efektivitas tata kelola hutan masih dinilai secara kuantitatif, misalnya dengan melihat serapan anggaran untuk mengelola hutan. Selain itu, adanya konflik kepentingan juga menyebabkan stagnasi terhadap perbaikan tata kelola hutan, khususnya pada pemerintah daerah.
Benturan kepentingan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan survei potensi benturan kepentingan dalam pendanaan pilkada pada 2016-2017. Hasilnya, dana pilkada yang mahal membuat para calon kepala daerah menyertakan donatur untuk pendanaan pilkada. Ini berdampak pada independensi calon kepala daerah dalam menentukan kebijakan tata kelola hutan.
Hal tersebut juga berpotensi mengakibatkan penyimpangan perizinan, seperti adanya biaya pengesahan Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) dan Izin Lingkungan, manipulasi peta, dan adanya konsultan sebagai arena transaksi yang sudah ditunjuk oleh pejabat tertentu. Fakta ini ditemukan oleh Hariadi melalui wawancara personal pada 2017-2018.
Pada 2016, sebanyak 75,8 persen responden menyatakan akan memenuhi harapan donatur kepada calon kepala daerah. Sejumlah harapan tersebut antara lain adalah keamanan dalam menjalankan bisnis, kemudahan perizinan, dan kemudahan mengikuti tender proyek pemerintah.
Menurut data KPK pada 2013, terdapat uang suap atau peras senilai Rp 680 juta hingga Rp 22 miliar per perusahaan setiap tahun. Sementara itu, menurut data pada 2015, kerugian negara akibat pembalakan liar mencapai Rp 35 triliun per tahun.
“Tapi kebiijakan pencegahan korupsi akan tidak efektif tanpa adanya penindakan. Suatu lembaga harus memenuhi dua kebenaran terlebih dahulu, yaitu kebenaran administratif dan kebenaran masyarakat. ini juga akan berdampak pada perbaikan tata kelola lahan,” kata Hariadi.
Berdayakan hutan
Tata kelola hutan berfungsi agar tercipta pola pengelolaan lestari, yaitu pola yang memenuhi keseimbangan ekologi, fungsi, dan produksi hutan. Namun, tata kelola hutan yang tidak efektif dapat mengancam keberlangsungan hutan.
Ketua Kamar Akademisi Dewan Kehutanan Nasional dan Ketua Pusat Penelitian Lingkungan Hidup-Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Palangka Raya, Yetrie Ludang, mengatakan, deforestasi kini terjadi pada sejumlah hutan, salah satunya di Kalimantan Tengah. Efeknya, pencemaran udara dan tanah terjadi. Padahal, hutan juga berperan untuk mengatasi masalah emisi gas rumah kaca.
Ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi kerusakan lingkungan, yaitu dengan remediasi, rehabilitasi, dan dengan restorasi hutan. Selain itu, penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi (fioteknologi) dapat diterapkan.
Menurut Yetrie, pemanfaatan limbah dari industri kelapa sawit terjadi di Kalimantan Tengah, yaitu dengan memanfaatkan tangkos. Tangkos dimanfaatkan sebagai media budidaya jamur, seperti jamur merang dan tiram.