JAKARTA, KOMPAS — Yayasan Madani Berkelanjutan mendorong agar kebijakan korektif kehutanan yang berlangsung saat ini dipertajam dengan keterbukaan informasi dan data serta keterlibatan publik. Itu bertujuan agar ketimpangan pengelolaan hutan dan konflik teratasi, serta hutan alam tersisa terlindungi.
Beberapa kebijakan korektif tersebut antara lain mengalokasikan 12,7 juta hektar kawasan hutan untuk perhutanan sosial dan 4,8 juta ha untuk tanah obyek reforma agraria (TORA). Perhutanan sosial diberikan untuk mengatasi ketimpangan pengelolaan hutan yang saat ini 98 persen kawasan hutan dikuasai swasta dan sisanya masyarakat. Melalui perhutanan sosial, harapannya pengelolaan masyarakat menjadi 31 persen.
TORA diberikan untuk memperpendek kesenjangan penguasaan aset kawasan hutan yang dilepas. Pada masa lalu, sekitar 88 persen kawasan hutan dilepas untuk swasta dan 12 persen bagi rakyat. Ke depan, melalui pemberian aset kawasan hutan, masyarakat bisa menguasai 41 persen.
Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan Muhammad Teguh Surya, Selasa (4/9/2018) di Jakarta, mengatakan, di atas kertas, kebijakan ini sudah baik. Namun, apabila kebijakan berlangsung parsial, kebijakan ini bisa menjadi blunder.
Ia menemukan kasus perhutanan sosial di Sumatera dan Kalimantan yang mana masyarakat penerima hak kelola itu kebingungan. ”Awalnya mungkin nanti pelepasan hutan dikuasai masyarakat. Namun, kalau tidak ada pendampingan ekonomi, bisa jadi aset dijual lagi ke perusahaan-perusahaan,” ujarnya dalam diskusi ”Mengupas Status Hutan Indonesia 2018: Mempertegas Langkah Koreksi Pengelolaan Hutan Indonesia”, Selasa di Jakarta.
Awalnya mungkin nanti pelepasan hutan dikuasai masyarakat. Namun, kalau tidak ada pendampingan ekonomi, bisa jadi aset dijual lagi ke perusahaan-perusahaan.
Dalam beberapa kesempatan, pemerintah mengantisipasi kemungkinan bakal terjadi itu. Upaya itu meliputi menerjunkan BUMN serta Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi untuk melakukan pendampingan setelah masyarakat mendapatkan kawasan hutan yang dilepaskan KLHK dan disahkan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional.
Muhammad Teguh Surya mencontohkan langkah mempertajam perlindungan hutan yang dimulai melalui moratorium izin baru kehutanan sejak zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2011. Ia berharap kebijakan ini dipertajam dengan memasukkan hutan sekunder sebagai area moratorium.
Ia mendorong Instruksi Presiden Moratorium Kehutanan yang diperpanjang tiga kali ini diperkuat substansinya dan berakhir pada Juli 2019. ”Jika Presiden terpilih nanti tidak memberi perhatian pada kebijakan ini, nasib jutaan hektar hutan primer dan lahan gambut makin dipertaruhkan,” katanya.
Teguh mengatakan, moratorium sementara ini diubah menjadi moratorium permanen. Tujuannya agar moratorium dapat bertahan dari pergantian rezim pemerintah.
Direktur Program Hutan dan Perubahan Iklim Yayasan Madani Berkelanjutan Anggalia Putri Permatasari mendorong keterbukaan data dan informasi pemerintah, termasuk membuka kepada publik lokasi-lokasi calon penempatan izin-izin kehutanan. Tujuannya agar warga lebih dini mengetahui kehadiran perusahaan beserta tata batasnya. Harapannya, itu mengerem konflik masyarakat dan perusahaan.
Penurunan emisi
Terkait isu nasional, Indonesia menjanjikan kontribusi penurunan emisi (NDC) melalui sektor lahan dan hutan dengan menekan deforestasi hanya 4,8 juta ha pada 2030. Namun, dalam rencana kerja tahunan nasional (RKTN), Teguh menemukan alokasi 4,4 juta hektar untuk konsesi hutan tanaman industri (HTI).
Teguh meminta pemerintah membuka akses peta lokasi-lokasi calon konsesi ini. Selain untuk menghindari konflik, masyarakat juga bisa membantu pengawasan apabila area tersebut mengenai hutan alam ataupun area gambut berfungsi lindung.
Anes Awen, Simpul Jaringan Pantau Gambut yang berada di Papua, mengatakan, hingga kini tutupan hutan di Tanah Papua belum mendapat ruang serius dari pemerintah. Izin-izin pertambangan, kata dia, muncul pada tahun 2018 dan menimbulkan protes masyarakat setempat. Ini kontradiktif dengan komitmen Papua Barat yang mendeklarasikan diri sebagai ”Provinsi Konservasi”.
Anes pun mengatakan, meski Papua memiliki otonomi khusus yang mendasarkan pada penghormatan hak-hak masyarakat asli Papua, hingga kini Papua Barat belum memiliki peraturan daerah tentang pengakuan dan pelrindungan hak masyarakat adat. Ia mendorong Pemerintah Provinsi Papua Barat segera menyusunnya sebagai dasar perencanaan perlindungan hutan yang tunduk pada penghormatan hak masyarakat adat.