JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah diminta mengkaji ulang rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air atau PLTA Tampur-1 di Kabupaten Aceh Tamiang, Gayo Lues, dan Aceh Timur, Provinsi Aceh. Pembangunan PLTA di dalam Kawasan Ekosistem Leuser ini dikhawatirkan akan merusak hutan, habitat satwa, dan membahayakan masyarakat.
Analis Perlindungan Bentang Alam dari Yayasan Ekosistem Leuser Riswan Zein mengatakan, pembangunan infrastruktur PLTA, seperti bendungan dan akses jalan, akan memicu kerusakan hutan dan habitat satwa. Keberadaan PLTA akan membuka akses ke kawasan hutan primer sehingga terjadi pembukaan hutan dan perburuan satwa.
”Dampaknya akan menurunkan keutuhan fungsi lindung dari Kawasan Strategis Nasional Kawasan Ekosistem Leuser (KEL),” ujar Riswan dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (30/8/2018).
Dampaknya akan menurunkan keutuhan fungsi lindung dari Kawasan Strategis Nasional Kawasan Ekosistem Leuser (KEL).
Bendungan, waduk, dan sebagian infrastruktur lain PLTA Tampur berada di dalam KEL. Lebih dari 10.000 hektar batas ekologis PLTA ini berada di kawasan hutan lindung dan lebih dari 20.000 hektar batas ekologisnya merupakan hutan primer. Luas genangan waduk yang berada di Kecamatan Pining, Kabupaten Lues, mencapai 4.090 hektar.
Saat ini, bendungan masih dalam tahap prakonstruksi. Tahap kontruksi direncanakan dimulai akhir 2018 dan siap beroperasi pada 2025. Kapasitas terpasang PLTA ini diperkirakan mencapai 1.000 MW.
Riswan melanjutkan, KEL merupakan satu-satunya ekosistem di dunia yang menjadi habitat empat spesies kunci di Indonesia, yaitu badak, harimau, gajah, dan orangutan. Pembangunan PLTA akan mengancam populasi dari hewan yang dilindungi tersebut.
Adapun spesies paling terpengaruh dalam proyek ini adalah gajah sumatera. Lembah Sungai Lesten yang akan digenangi air waduk merupakan koridor jelajah yang sangat penting bagi populasi gajah. ”Infrastruktur PLTA Tampur-1 akan memutus aliran genetika gajah sehingga akan mendorong populasinya ke arah kepunahan,” ujarnya.
Pembangunan PLTA Tampur juga dikhawatirkan menghilangkan mata pencarian masyarakat yang menggantungkan hidup dari daerah aliran sungai (DAS) Tamiang. Risiko bencana alam juga semakin tinggi karena proyek ini.
Riswan menyebutkan, proses pengisian waduk selama setahun diperkirakan akan membuat DAS Tamiang kehilangan sumber air. Akibatnya, 50 persen desa yang berada di hilir DAS Tamiang akan mengalami kekeringan sehingga tidak bisa menggarap lahan pertanian dan menangkap ikan di sungai.
Rawan gempa
Kawasan yang akan dijadikan PLTA juga termasuk daerah rawan gempa bumi karena berada di sebelah timbur dari Sesar Besar Sumatera. Sebagian besar jenis tanah di sekitar lokasi berkategori ”peka” dan ”sangat peka” sehingga rawan terjadi tanah longsor. Kondisi ini sangat rawan terhadap bendungan yang tingginya mencapai 193,5 meter.
”Kalau ini meledak (bendungan jebol), kami tidak bisa membayangkan. Kami masih trauma dengan banjir bandang (pada Desember) tahun 2006, cuma dua tahun setelah tsunami Aceh. Akibatnya, 90 persen daratan Aceh Tamiang hancur. Tolonglah pertimbangkan kembali untuk membangun PLTA ini,” kata Matsum, perwakilan warga Aceh Tamiang.
Riswan menambahkan, para aktivis dan warga menolak pembangunan ini bukan karena anti-pembangunan. Mereka menolak karena proyek PLTA berpotensi merusak lingkungan dan membahayakan masyarakat. ”Masih banyak tempat lain yang lebih aman dan tidak merusak lingkungan,” ujarnya.
Perizinan
Anggota Tim Legal Yayasan Hutan, Alam, dan Lingkungan Aceh (HAkA), M Fahmi, mengatakan, selain berpotensi merusak lingkungan dan merugikan masyarakat, pembangunan PLTA Tampur-1 juga dinilai melanggar aturan perizinan. Gubernur Aceh dinilai melampaui kewenangannya dalam memberikan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) pada PT KAMIRZU, pelaksana proyek ini.
Berdasarkan Nomor P.50/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2016 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan, IPPKH hanya bisa dikeluarkan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) berdasarkan permohonan. Dalam aturan tersebut, Menteri LHK bisa memberi kewenangan pada gubernur sebagai perpanjangan tangan pusat di daerah, tetapi hanya untuk pembangunan fasilitas umum nonkomersial dengan luas maksimal 5 hektar.
”Sementara proyek ini lebih dari 5 hektar dan tidak termasuk dalam kategori fasilitas umum yang bersifat nonkomersial seperti yang disebutkan dalam Peraturan Direktur Jenderal Planologi Kehutanan,” kata Fahmi. Dia pun meminta gubernur untuk membatalkan proyek ini karena melanggar aturan. Kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) juga diharapkan untuk tidak mengeluarkan IPPKH terkait proyek ini.
Sementara perwakilan Perkumpulan Pembela Lingkungan Hidup (P2LH), M Reza Maulana, meminta Gubernur Aceh membatalkan Surat Keputusan (SK) Gubernur Aceh Nomor 522.51/Dpmptsp/1499/Ippkh/2017. Isinya tentang pemberian IPPKH kepada PT Kamirzu untuk membangun PLTA Tampur-1 seluas lebih kurang 4.407 hektar di Kabupaten Gayo Lues, Aceh Tamiang, dan Aceh Timur.
Menurut Reza, seharusnya SK itu tidak berlaku lagi karena setelah setahun masa berlakunya PT Kamirzu belum memenuhi kewajibannya, salah satunya soal relokasi warga di Desa Lesten. ”Kami akan menempuh jalur pidana apabila masih ada ditemukan aktivitas penebangan pohon atau alat berat selama tidak berlakunya SK ini,” kata Reza.
Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem KLHK Wiratno belum bisa memberikan tanggapan terkait persoalan ini. ”Saya belum punya info. Saya cek dulu ya,” katanya melalui aplikasi Whatsapp. (YOLA SASTRA)