JAKARTA, KOMPAS — Teknologi yang digunakan dalam bidang kesehatan berkembang dalam beberapa dekade terakhir. Hal ini berpengaruh pada munculnya variasi tindakan medis baru yang dinilai lebih unggul daripada tindakan medis konvensional, contohnya teknik bedah invasif minimal.
”Salah satu perkembangan teknologi yang signifikan adalah teknologi imaging radiologi. Dalam sekitar sepuluh tahun terakhir sudah berubah dan berkembang pesat,” kata CEO RS Pondok Indah Group dr Yanwar Hadiyanto di Jakarta, Rabu (29/8/2018).
Menurut Yanwar, gambar hasil pencitraan radiologi yang dihasilkan kini berkualitas definisi tinggi (high definition). Hal itu membantu para dokter untuk menganalisis penyakit pasien secara lebih akurat. Selain itu, resolusi gambar yang makin baik juga akan berpengaruh pada akurasi evaluasi pasien sebelum dilakukan tindakan medis.
Paparan radiasi yang dihasilkan dari alat pemindai tubuh juga kini lebih rendah bila dibandingkan dengan teknologi beberapa tahun silam. Yanwar mengatakan, bila dibandingkan teknologi tahun 2000-an, paparan radiasi dari alat teknologi masa kini 10 kali lebih kecil. Hal itu bisa mengurangi risiko masalah kesehatan bagi para pasien dan dokter.
Perkembangan teknologi juga membuahkan inovasi dalam tindakan medis, seperti bedah invasif minimal. Bedah invasif minimal (minimal invasive surgery) adalah tindakan bedah dengan luka sayatan yang minimal. Tindakan ini dapat dilakukan untuk sejumlah masalah kesehatan, seperti jantung, pembuluh darah, dan saluran kemih atau urologi. Bila dibandingkan bedah konvensional, bedah invasif minimal memiliki sejumlah keunggulan.
”Pasien akan merasakan nyeri yang lebih sedikit, risiko komplikasi lebih rendah, dan masa pemulihan yang lebih singkat,” kata Yanwar.
Bedah minimal invasif
Pada kasus bedah jantung, bedah invasif minimal dilakukan dengan kateterisasi atau pemasangan stent. Hal ini dilakukan untuk mengatasi pembuluh darah yang tersumbat. Stent dimasukkan melalui pembuluh darah di paha untuk mencapai jantung dengan menggunakan alat khusus berukuran kecil. Dengan teknik ini, pasien tidak perlu melakukan bedah terbuka (open surgery).
Menurut hasil survei Sample Registration System (SRS) pada 2014, penyakit jantung koroner menjadi penyebab kematian tertinggi di Indonesia pada semua umur setelah stroke, yaitu 12,9 persen. Kini, 75 persen dari seluruh kasus jantung koroner dapat ditindak dengan bedah invasif minimal. Bila dibandingkan dengan bedah konvensional, hal ini dapat menurunkan sejumlah konsekuensi yang harus ditanggung pasien.
Masa perawatan kateterisasi jantung pada bedah invasif minimal adalah satu hari, sedangkan masa perawatan pada bedah jantung konvensional adalah lima hari. Jadi, pasien dapat segera beraktivitas setelah bedah dilakukan. Risiko kematian dengan bedah invasif minimal lebih kecil, yaitu 0,1-0,5 persen. Selain itu, ukuran bekas luka operasi yang ditimbulkan hanya 1-2 milimeter, sedangkan bekas luka pada bedah konvensional dapat mencapai 10-15 sentimeter.
”Namun tak semua masalah jantung dapat diatasi dengan tindakan invasif nonbedah. Pasien harus dievaluasi dulu sebelum ditindak. Diskusi dengan tim bedah juga diperlukan untuk memutuskan tindakan terbaik untuk pasien,” kata dokter spesialis jantung dan pembuluh darah konsultan kardiologi intervensi RS Pondok Indah Wishnu Aditya.
Namun, tak semua masalah jantung dapat diatasi dengan tindakan invasif nonbedah. Pasien harus dievaluasi dulu sebelum ditindak.
Bedah invasif minimal juga dapat dilakukan pada masalah urologi. Untuk mengatasi batu ginjal, tindakan percutaneous nephrolithotomy (PCNL) dapat menjadi alternatif. PCNL dilakukan dengan membuat tusukan kecil sedalam sekitar 1 sentimeter menuju langsung ke ginjal untuk menghancurkan batu ginjal.
Pasien yang memiliki masalah batu ginjal berukuran kurang dari 2 sentimeter bahkan dapat ditindak tanpa menghasilkan luka sama sekali. Pasien akan menerima tindakan extracorporeal shockwave lithotripsy (ESWL), yaity penghancuran batu ginjal dengan gelombang kejut.
Meski dinilai lebih mahal dibandingkan bedah konvensional, RS Pondok Indah mencatat bahwa para pasien cenderung memilih bedah invasif minimal. Pada kasus bedah jantung, perbandingan pasien yang memilih bedah invasif minimal daripada bedah konvensional mencapai 50 orang banding 1 orang. Hal itu terjadi setelah para pasien menimbang keuntungan yang diperoleh dengan bedah invasif minimal.
”Pemahaman tentang bedah invasif minimal ini penting agar momok tentang bedah yang menakutkan tidak berkembang di masyarakat. Ini supaya pasien merasa aman dan dapat dilakukan tindakan agar mereka sembuh,” kata dokter spesialis bedah urologi RS Pondok Indah Hery Tiera. (SEKAR GANDHAWANGI)