JAKARTA, KOMPAS – Harga karbon dalam pasar domestik belum menarik dan cukup untuk menghimpun dana dalam memitigasi perubahan iklim. Pemerintah perlu menciptakan kebijakan dan dorongan agar pasar menjadi menarik.
Hal ini mengemuka dalam diskusi rutin Pojok Iklim, Selasa (21/8/2018), di Jakarta, yang bulan ini mengambil tema Instrumen Berbasis Pasar dalam Mitigasi Perubahan Iklim di Sektor Energi. Diskusi berseri keempat ini telah mengerucut pada Kesiapan Kebijakan Nasional Mengenai Instrumen Mitigasi berbasis Pasar.
Diskusi juga menghadirkan Wahyu Marjaka (Direktur MobilisasiSumber Daya Sektoral dan Regional Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan/KLHK), Medrilzam (Direktur Lingkungan Hidup Bappenas), Hariyanto (Direktur Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral), dan Vladislav Arnaoudov (Market-based Instrument Expert Partnership for Market Readiness (PMR) serta moderator Agus Pambagyo.
Dida Gardera mengatakan, riset menunjukkan pasar karbon baru menarik apabila 40-80 dollar AS per ton CO2 pada 2025 dan 50-100 dollar AS per ton CO2 pada 2030. Saat ini harganya baru 1 dollar AS per ton CO2 atau sangat jauh dari kompetitif.
Dida mengkhawatirkan apabila harga tak kunjung kompetitif, Indonesia harus meningkatkan ambisi penurunan emisinya. Pada 2015, Indonesia menyatakan penurunan emisi sebanyak 29 persen pada 2030.
Medrilzam menuturkan, pembangunan rendah karbon menjadi dasar Bappenas dalam menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024. Ini akan memasukkan daya dukung dan daya tampung berupa air, emisi, tutupan lahan, keanekaragaman hayati, dan kelautan sebagai penyeimbang pembangunan.