JAKARTA, KOMPAS – Reforma agraria hingga kini belum berjalan seperti target sebagai jalan mengatasi ketimpangan penguasaan lahan di Indonesia. Agar berjalan dengan baik, Presiden Joko Widodo diharapkan menjalankan kebijakan moratorium perkebunan sawit seperti yang pernah dijanjikan sejak tahun 2016.
Moratorium atau penundaan sementara perizinan sawit – komoditas perkebunan terluas dan masif – diperlukan agar penerima dan tanah obyek redistribusi lahan terpetakan dengan tuntas. Tanpa moratorium, reforma agraria yang juga diharapkan mengatasi konflik lahan di lapangan, tak akan selesai seiring masih mengucurnya izin-izin perkebunan.
Direktur Eksekutif Sawit Watch Inda Fatinaware, Senin (13/8/2018) di Jakarta, mengatakan Presiden Joko Widodo hanya memiliki sedikit waktu untuk memenuhi janji moratorium sawit sebelum mengambil masa cuti untuk kampanye pemilihan presiden 2019. “Waktu satu tahun ini tidak berharap untuk penyelesaian, tapi setidaknya ada fondasi yang diletakkan, termasuk menerbitkan moratorium (sawit),” kata dia.
Dengan moratorium sawit, Presiden Joko Widodo akan meletakkan fondasi kuat bagi reforma agraria bagi siapa pun presiden terpilih pada 2019. Sawit Watch dan lembaga nonpemerintah lain siap mengawal implementasi moratorium.
Kepala Departemen Kampanye dan Perluasan Jaringan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Khalisah Khalid mengatakan moratorium membantu mengalokasikan obyek dan penerima redistribusi lahan. “Karena salah satu obyek yang seharusnya bisa kembali menjadi milik negara dan diredistribusi ke msayarakat kan itu-itu saja, obyeknya hanya satu,” kata dia.
Hal itu membantu menjawab lokasi pelaksanaan reforma agraria seluas 9 juta ha seperti target dalam Nawa Cita. Kriteria lokasi tanah obyek reforma agrarian bisa berasal dari hak guna usaha (HGU) yang telantar, HGU yang tidak diperpanjang, serta HGU yang berkonflik.
Usep Setiawan, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden menyatakan telah mengarahkan agar kementerian teknis mengevaluasi izin-izin perkebunan dan kehutanan. “Belum lagi kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral serta Kementerian Badan Usaha Milik Negara, banyak izin harus dievaluasi agar peta ketimpangan dan konflik ini menjadi dasar presiden mengambil keputusan. Langkah Presiden jelas pemerataan ekonomi berkeadilan, itu garisnya,” kata dia.
Kementerian Agraria dan Tata Ruang agar bekerja lebih keras mewujudkan janji Presiden. Ia mengatakan tahun ini Kementerian ATR memiliki target 350.000 bidang reforma agraria. Ini di luar pembagian sertifikat dari program pendaftaran tanah sertifikat lengkap.
“Di tahun mendatang ada 900.000 sampai 1 jutaan bidang redistribusi tanah,” kata dia. Terkait capaian menjelang tahun politik ini, ia berharap program tetap berjalan karena Presiden meminta jajarannya fokus bekerja.
Di tahun mendatang ada 900.000 sampai 1 jutaan bidang redistribusi tanah.
Saat ini pemerintah mempersiapkan Peraturan Presiden tentang Reforma Agraria. Di dalam perpres ini, terdapat pengaturan terkait penyelesaian konflik, redistribusi tanah, legalisasi lahan, dan pemberdayaan masyarakat.
Perpres ini menyusul regulasi sebelumnya, Perpres 88/2017 yang digunakan untuk menyelesaikan penguasaan tanah dalam kawasan hutan. Melalui perpres tersebut, reforma agraria agar tidak berhenti pada legalisasi tanah tetapi berlanjut hingga pemberdayaan ekonominya.
Usep mengatakan KSP mendorong pemberian sertifikat hasil program reforma agraria berbentuk sertifikat komunal atau sertifikat kolektif, bukan pribadi. Tujuannya, kata dia mendorong semangat kebersamaan di masyarakat. “Ini lebih mudah jika sejak awal hak milik bersama. Tetap hak milik tapi dimiliki bersama ini mengikat gotong royong dan memiliki,” kata dia.
Sertifikat komunal ini, kata dia, sudah disusun regulasinya melalui Peraturan Menteri ATR no.10/2016 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat yang Berada Dalam Kawasan Tertentu. Dikatakan, Permen ini agar dijalankan secara konsisten.