Penyaluran Logistik Terhambat Keterbatasan Jumlah Kendaraan
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah kawasan yang terdampak bencana gempa bumi di Lombok, Nusa Tenggara Barat, masih kesulitan memperoleh bantuan logistik. Problem ini terjadi karena adanya keterbatasan jumlah kendaraan pengangkut logistik.
Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho menyampaikan, bantuan logistik terus berdatangan ke Lombok. Namun, persoalaan yang ditemui saat ini adalah terbatasnya jumlah kendaraan penyalur logistik.
”BNPB telah menyampaikan kekurangan kendaraan ini kepada Menteri Perhubungan. Menurut rencana akan dibantu menggunakan kendaraan Damri,” kata Sutopo saat dihubungi di Jakarta, Minggu (12/8/2018).
Kini, berbagai upaya telah dilakukan untuk mempercepat distribusi bantuan, yaitu dengan pengerahan relawan ke sejumlah daerah, pendataan dan pendistribusian logistik yang terarah, serta penggunaan kendaraan operasional satuan kerja perangkat daerah (SKPD), guna pendistribusian bantuan.
Adapun bantuan dari posko tanggap darurat di Kecamatan Tanjung, Lombok Utara, didistribusikan sesuai permintaan koordinator pengungsi ataupun permintaan masyarakat melalui call center posko.
Hingga Sabtu (11/8/2018), tercatat 392 orang meninggal akibat gempa bumi bermagnitudo 7,0 di wilayah NTB dan Bali. Secara rinci, 339 orang meninggal di Kabupaten Lombok Utara, 30 orang di Lombok Barat, 9 orang di Kota Mataram, 10 orang di Lombok Timur, 2 orang di Lombok Tengah, dan 2 orang di Kota Lombok. Sebagian besar korban meninggal akibat tertimpa bangunan saat gempa.
Untuk korban luka-luka, tercatat 1.353 orang dengan 783 orang luka berat dan 570 orang luka ringan. Korban luka-luka paling banyak ditemukan di Lombok Utara, yaitu 640 orang.
Sementara, total keseluruhan pengungsi sebanyak 387.067 orang yang tersebar di ribuan titik pengungsian. Sebaran dari pengungsi, yakni 198.846 orang di Kabupaten Lombok, 91.372 orang di Lombok Barat, 20.343 orang di Kota Mataram, dan 76.506 orang di Lombok Timur.
Adapun kerusakan fisik meliputi 67.875 rumah rusak, 606 sekolah rusak, 6 jembatan rusak, 3 rumah sakit rusak, 10 puskesmas rusak, 15 masjid rusak, 50 mushala rusak, dan 20 unit perkantoran rusak.
”Pendataan dan verifikasi masih dilakukan petugas. Pendataan dan verifikasi rumah diprioritaskan agar terdata jumlah kerusakan rumah dengan nama pemilik dan alamat untuk selanjutnya bisa didata korban yang menerima bantuan stimulus perbaikan rumah,” kata Sutopo.
Di sektor pendidikan, dari 606 satuan pendidikan terdampak akibat gempa terdapat 3.051 ruang kelas rusak. Untuk menyelenggarakan sekolah darurat diperlukan 319 tenda. Namun, baru 21 tenda yang sudah terpasang.
Waspadai hoaks
Terhitung sampai Sabtu kemarin, sudah terjadi 576 gempa susulan sejak gempa berkekuatan magnitudo 7,0 mengguncang wilayah NTB dan sekitarnya. Intensitas gempa susulan, hingga pemantauan Minggu, tergolong kecil. Diperkirakan gempa susulan ini masih akan terjadi hingga empat pekan ke depan. Namun, masyarakat diharapkan tidak terprovokasi hoaks.
Kepala Bidang Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Dini Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Daryono menekankan, ilmu pengetahuan dan terknologi saat ini belum ada yang bisa memprediksi gempa secara pasti. Apalagi, deteksi spesifik pada waktu dan besar kekuatan gempa.
Masyarakat diimbau untuk tidak terpengaruh oleh berita hoaks yang tersebar, seperti kemungkinan adanya gempa besar yang terjadi di Jawa karena pergerakan gempa dari Lombok, isu terjadinya tsunami, ataupun gempa bumi yang akan terjadi lebih besar di berbagai tempat lain. ”Itu semua hoaks,” ujarnya.
Menurut Daryono, Indonesia memang rawan gempa bumi. Hal ini karena banyaknya patahan (sesar) aktif yang ada di Indonesia. Di Jawa, terhitung ada 33 sesar aktif, seperti Sesar Opak, Cimandiri, Lembang, Kendeng, Semarang, Rawa Pening, Ungaran, dan Juwono. Selain itu, Indonesia juga berada di antara pertemuan lempeng bumi yang bisa menyebabkan gempa bumi. Namun, kapan akan terjadinya gempa tidak bisa diprediksi.
Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Rahmat Triyono menyatakan, terkait gempa susulan yang masih sering terjadi di Lombok, kondisi itu merupakan hal yang wajar. Biasanya, gempa susulan masih berlangsung 4-6 bulan setelah gempa besar terjadi.
”Saat ini yang seharusnya lebih diutamakan adalah upaya mitigasi bencana. Masyarakat perlu memastikan bangunan tempat tinggalnya tahan terhadap gempa dengan struktur bangunan yang kuat. Jika tidak memungkinkan, masyarakat bisa membangun rumah yang aman gempa, misalnya dengan bambu yang dirancang khusus agar tetap menarik,” katanya.