SURABAYA, KOMPAS — Jurusan Teknik Geofisika Fakultas Teknik Sipil, Lingkungan, dan Kebumian Institut Teknologi Sepuluh Nopember melalui Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat sedang menguji sebuah aplikasi baru yang berisi cara pengujian kerawanan wilayah dan bangunan dari ancaman gempa.
Aplikasi berbasis sistem operasi Android ini, jika sudah selesai dan bisa diunduh, bisa membuat masyarakat membantu menguji potensi kerawanan wilayah dan rumahnya dari gempa.
Pengajar Teknik Geofisika, Amien Widodo, mengatakan di Surabaya, Kamis (9/8/2018), aplikasi itu disusun sebagai semacam daftar pertanyaan bagi pengunduh untuk menguji dua hal penting dalam hubungan dengan kerawanan kegempaan, yakni uji tanah dan uji bangunan.
Jika sistem ini dikaitkan dengan perkembangan pendataan uji kerawanan gempa di suatu wilayah yang sudah diatur oleh pemerintah daerah setempat, hal itu akan bisa diambil peringkat bangunan si pengunduh atas kerawanan bangunan miliknya terhadap ancaman gempa.
Tentu uji terbaik jika dilakukan ahlinya, tetapi setidaknya pemilik bangunan rumah, apalagi gedung, bisa mengukur dulu status kerawanan bangunan miliknya.
”Semisal tanahnya di lokasi rawan gempa, lalu uji bangunannya tidak rawan gempa, maka ancamannya sedang, atau lokasi tanahnya rawan gempa, dan assessment (uji) bangunannya juga vulnerable (rawan) gempa, maka rank (peringkat) bangunannya sangat rawan gempa,” tuturnya.
Aplikasi tersebut diberi nama RVisits, kependekan dari Rapid Visual Screening ITS, dan dikerjakan oleh tim yang dipimpin ahli peneliti utama RVisits, Endah Wahyuni dari Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Sipil, Lingkungan, dan Kebumian Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS). Aplikasi itu resminya disusun oleh lembaga Pusat Studi Kebumian Bencana dan Perubahan Iklim Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat ITS yang dulu diketuai Amien Widodo.
Aplikasi tersebut sudah selesai dikerjakan dan kini dalam proses pengujian. Pengujian berupa penerapan kepada masyarakat, dalam hal ini dilakukan oleh mahasiswa, untuk dimanfaatkan pada rumah atau gedung masing-masing.
”Masih ada kekurangan yang kami temukan. Bahwa ternyata aplikasi ini agak terlalu akademis sehingga tidak semua orang bisa menggunakan. Perlu bekal ilmu dasar geologi agar masyarakat bisa menguji kerawanan gempa tanah lokasi tinggalnya, dan bangunannya,” tuturnya.
Menurut Amin, tidak semua warga paham karakteristik fisika tanah dan teknik konstruksi bangunan yang memang merupakan bentuk pengetahuan akademik. ”Jadi, kami masih cari cara menyederhanakan isinya,” katanya.
Aplikasi tersebut terhubung dengan norma yang lebih besar, yakni pentingnya pemerintah membuat aturan tentang kerawanan tanah dan bangunan dari kegempaan.
”Ini belum banyak tersosialisasikan meski sudah peraturan Menteri PU yang mewajibkan ketahanan bangunan dari ancaman gempa. Setiap lokasi memiliki kerawanannya, dan perlu ujian atas kerawanan, terutama kemudian ujian atas bangunan jika sudah berdiri bangunan di atasnya,” lanjutnya.
Saat ini, dengan penerapan uji kegempaan yang baru seiring dengan majunya teknologi, alat seismometer (alat pengukur gempa) sudah diketahui adanya sesar-sesar dan sumber kegempaan yang lebih baru. Di Surabaya, misalnya, sudah ditemukan dan sudah sebagaian diuji ”sesar Waru” dan ”sesar Mayjen Sungkono”.
Penamaan sekadar menunjuk lokasi dan nama yang populer dari wilayah itu. Terhadap informasi baru ini, seyogianya masyarakat bisa membangun kewaspadaan dengan minimal menguji sendiri kerawanan kegempaan di gedung atau rumah masing-masing.