JAKARTA, KOMPAS – Danau Tempe di Sulawesi Selatan secara alamiah memiliki siklus genangan dan kering sepanjang tahun. Saat ini, danau berjenis paparan banjir itu dalam masa genangan tinggi. Proses alami ini kini berubah jadi banjir karena sedimentasi maupun tata ruang yang menggunakan daerah “kering sementara” sebagai permukiman.
Sejak tahun 2009, Danau Tempe menjadi danau prioritas nasional bersama 14 danau lain. Dalam Gerakan Penyelamatan Danau Tempe tahun 2014, tertuang bahwa program superprioritas di danau yang terbentuk dari depresi lempeng bumi Asia-Australia ini adalah mengatasi sedimentasi.
“Danau Tempe itu terhitung dangkal. Sedimentasi membuat semakin dangkal sehingga air tak tertampung,” kata Fauzan Ali, Kepala Pusat Limnologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Kamis (12/7/2018) di Jakarta.
Danau Tempe itu terhitung dangkal. Sedimentasi membuat semakin dangkal sehingga air tak tertampung.
Danau Tempe memiliki luas dan kedalaman berfluktuasi. Pada musim kemarau, Danau Tempe hanya memiliki luas 10.000 hektar dengan kedalaman 0,5-2 meter. Pada musim hujan, luas mencapai 28.000-43.000 ha dan kedalaman 6-9 meter.
Fauzan Ali memaparkan, proses alami ini disikapi masyarakat lokal setempat dengan rumah panggung dan rumah apung. “Masyarakat lokal yang asli rumahnya pasti ada perahu yang digunakan saat musim hujan, saat air tergenang karena sudah beradaptasi dengan lingkungannya,” ungkapnya.
Masyarakat lokal yang asli rumahnya pasti ada perahu yang digunakan saat musim hujan, saat air tergenang karena sudah beradaptasi dengan lingkungannya.
Ia mengatakan Kota Sengkang di Sulsel sebenarnya juga merupakan daerah genangan. Namun kemudian dibangun dam agar air tak merendam kota.
Curah hujan ekstrem
Secara terpisah, Direktur Jenderal Pengendalian Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Ida Bagus Putera Parthama mengatakan penyebab banjir di sekitar Danau Tempe yaitu curah hujan ekstrem selama 2 hari berturut-turut dengan intensitas rata-rata 187 mm per hari. Selain itu, danau yang berada di Daerah Aliran Sungai (DAS) Bilawalanae seluas 735.166,9 ha ini mengalami sedimentasi.
Menurut catatan Putera, lahan kritis daerah tangkapan air Danau Tempe mencapai 75.004,5 ha. Kegiatan pertanian mendominasi bentuk penggunaan lahan yaitu mencapai 354.297 ha atau 48 persen dari luas DAS Bilawalanae.
“Ini memicu laju sedimentasi yang tinggi ke Danau Tempe sehingga menurunkan kapasitas tampung danau,”kata dia. Selain itu, lanjutnya, secara geomorfologis, Danau Tempe memang merupakan danau paparan banjir, sehingga debit banjir selalu lebih besar daripada kapasitas pengaliran.
Menguntungkan
Siklus alami kering-tergenang ini menguntungkan bagi produktivitas perikanan. Saat musim kemarau, lahan yang sebelumnya tergenang berubah menjadi padang rumput subur. Saat musim hujan, genangan menutup padang rumput ini sehingga membusukkan rerumputan sehingga memunculkan berbagai mikroorganisme yang menjadi pakan ikan.
Ketika kembali datang musim kemarau, daerah cekungan air menjadi penuh dengan ikan yang biasa dipanen masyarakat. “Danau Tempe itu dikenal sebagai daerah penghasil ikan (air tawar) di Sulawesi Selatan,” kata Fauzan Ali.
Namun hal ini, kata dia, terancam dengan pembangunan Bendung Gerak Tempe yang dibangun di Sungai Cenrane (outlet Danau Tempe) membuat air selalu tergenang. Ini membuat produktivitas perairan menurun sehingga linier mengurangi produktivitas perikanan.