Selam Indonesia Dikuasai Asing, Negara Rugi Rp 1,5 Triliun
Oleh
Ichwan Susanto
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia masih mengalami hambatan dalam mengoptimalkan pemanfaatan laut melalui pengembangan jasa kelautan karena kegiatan selam dan bidang pekerjaan komersial bawah laut masih dikuasai asing. Sejauh ini, pemerintah belum mengatur regulasi bidang pekerjaan komersil bawah laut serta layanan selam untuk pariwisata.
Kondisi itu mengakibatkan bisnis dan kegiatan tersebut dilakukan pihak asing melalui asosiasi dan lembaga sertfikasi asing yang berbisnis di Indonesia. Praktik tersebut berlangsung lama dan merugikan negara meski ada upaya serius pemerintah dan pengampu kepentingan kelautan untuk membenahi masalah ini.
Ketua Harian Ikatan Sarjana Kelautan Indonesia (ISKINDO), Moh Abdi Suhufan, dalam siaran pers, Rabu (11/7/2018), di Jakarta, mengatakan dominasi asing dalam dunia selam di Indonesia menimbulkan ketergantungan dan merugikan negara. “Akibat kegiatan selam dikuasai asing, kerugian negara diperkirakan Rp 1,5 triliun karena kegiatan itu dilakukan secara ilegal dengan tidak membayar pajak pada negara,” ujarnya.
Kegiatan selam itu meliputi layanan kepariwisataan dan bidang pekerjaan komersial seperti survei bawah laut yang sertifikasinya dikeluarkan oleh asosiasi dan lembaga asing yang melakukan bisnis di Indonesia. Saat ini ada 8-10 lembaga asing yang beroperasi di Indonesia dari negara Amerika, Jepang, Kanada dan Inggris.
Pariwisata
Untuk bidang kepariwisataan layanan selam, pasar mereka meliputi sertifikasi dive centre atau pusat selam yang melakukan usaha selam, sertifikasi bagi instruktur selam, dan sertifikasi dive master atau ahli selam. Selain itu, ada jenis sertifikasi lain seperti survei bawah laut, pengelasan bawah laut, perpipaan, dan pekerjaan di sektor minyak dan gas. “Untuk setiap dive centre mesti membayar Rp 30-40 juta, saat ini ada sekitar 800 dive center di Indonesia,” kata Abdi.
Hal itu ditambah dengan meningkatnya kebutuhan tenaga selam professional yang jumlahnya ratusan orang per tahun. Akibat praktik ini, pertumbuhan tenaga selam di Indonesia lambat karena mahalnya biaya untuk mendapat sertifikasi selam. Hal ini berbanding terbalik dengan keinginan pemerintah untuk mendorong perkembangan pariwisata khususnya wisata bahari.
Sementara Ketua Bidang Sertifikasi Profesi Kelautan DPP ISKINDO, Amiruddin mengatakan pemerintah dan pemangku kepentingan kelautan Indonesia harus segera berkonsolidasi guna mengurangi dominasi asing di dunia bawah laut Indonesia.
“Pemerintah mesti segera mengatur dan membuat regulasi tentang sertifikasi pekerjaan bawah laut serta lembaga atau asosiasi yang menjalankan bisnis ini di Indonesia dengan label merah putih,” ujarnya.
Pemerintah mesti segera mengatur dan membuat regulasi tentang sertifikasi pekerjaan bawah laut serta lembaga atau asosiasi yang menjalankan bisnis ini di Indonesia dengan label merah putih.
Pekerjaan bawah laut yang berisiko tinggi mesti terstandarisasi, lanjut Amiruddin, bisa dihasilkan sumber daya manusia Indonesia. Pemerintah perlu mendorong agar penyediaan layanan sertfikasi selam professional dan pekerjaan komersil untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja dalam negeri dan berbiaya murah.
Biaya yang selama ini dikeluarkan untuk sertfikasi pekerjaan baah laut terbilang mahal sehingga Indonesia kekurangan sumber daya manusia atau SDM terampil untuk penuhi kebutuhan pasar tenaga kerja bawah laut.