Peta Batas Daerah Aliran Sungai, Rawan Erosi, dan Lahan Kritis Diluncurkan
Oleh
Yovita Arika
·3 menit baca
JAKARTA,KOMPAS – Pemerintah meluncurkan Peta Batas Daerah Aliran Sungai, Rawan Erosi, dan Lahan Kritis, Kamis (5/7/2018). Ketiga peta yang dibuat untuk mengatasi banyaknya konfilik ruang dan tumpang tindih lahan tersebut diharapkan juga dapat menjadi acuan untuk mengatasi masalah degradasi lahan yang mendesak ditanggulangi.
“Harapannya peta tersebut bisa membantu Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian Pertanian, serta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral untuk melaksanakan pembangunan yang berkelanjutan,” kata Deputi Badan Informasi Geospasial (BIG) Tematik Nurwadjedi saat peluncuran ketiga peta tersebut dalam seminar Peringatan Hari Penanggulangan Degradasi Lahan Sedunia di Gedung Manggala Wanabakti, Jakarta, Kamis.
Peta tersebut disusun oleh Direktorat Pengendalian Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (PDASHL) bekerja sama dengan BIG. Guru Besar Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada Aris Marfai menyambut positif peluncuran ketiga peta tersebut. Hal itu dinilai sebagai langkah maju dalam penyediaan informasi geospasial.
“Saat ini yang perlu masih dipikirkan adalah cara memilah dan menggunakan informasi yang telah tersedia tersebut dalam penanggulangan degradasi lahan. Jika berhasil, penganggulangan degradasi lahan kritis akan menghasilkan ekosistem yang lebih baik” kata Aris.
Data PDASHL tahun 2018 menunjukkan, terdapat 14.006.450 hektar lahan kritis di Indonesia. Selain menyebabkan kerugian ekonomi akibat erosi, dikhawatirkan lahan kritis tersebut akan memicu bencana alam banjir dan tanah longsor.
Data PDASHL tahun 2018 menunjukkan, terdapat 14.006.450 hektar lahan kritis di Indonesia.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya, dalam sambutan tertulisnya mengatakan, Indonesia termasuk negara dengan laju sedimentasi terbesar di dunia. Setiap tahun, laju sedimentasi di Indonesia lebih dari 250 ton per kilometer persegi. Selain itu, Laporan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) tahun 2015 menyatakan, terjadi defisit air sebesar 105 miliar kubik di Jawa dan Bali. Adapun deficit air di Nusa Tenggara mencapai 2,3 miliar meter kubik.
Direktur Kehutanan dan Konservasi Sumber Daya Air Kementerian PPN Nur Hygiawati Rahayu mengatakan, penanganan degradasi lahan bukan kepentingan lingkungan hidup semata. Degradasi lahan juga akan membahayakan cadangan air, pangan, dan energi yang sangat dibutuhkan oleh manusia.
“Akhirnya semua akan rugi, untuk itu penanganan degradasi lahan pun harus dilakukan bersama-sama,” ujar Nur.
Tak boleh asal
Tak semua penanggulangan degradasi lahan berarti menanam pohon pada lahan gundul atau lahan kering. Guru Besar Institut Pertanian Bogor Dodik Ridho Nurrochmat menyebutkan reboisasi Gumuk Pasir di Yogyakarta sebagai upaya reboisasi yang tidak memperhatikan ekosistem setempat.
Tak semua penanggulangan degradasi lahan berarti menanam pohon pada lahan gundul atau lahan kering.
“Tidak semua pemulihan lahan bisa dicapai dengan reboisasi, perlu juga dilihat ekosistem khas wilayah tersebut. Jika memang ekosistem wilayah tersebut adalah padang rumput atau gurun maka jangan ditanami pohon, karena justru akan merusak keanekaragaman hayati di tempat itu,” tegas Dodik.
Selain itu, Pengajar Universitas Padjajaran sekaligus Perwakilan Forum DAS Chay Asdak yang turut hadir dalam seminar itu mengingatkan agar penanganan degradasi lahan tetap bertumpu pada konteks sosial ekonomi masyarakat setempat. “Tidak ada namanya cara paling benar yang bisa dipakai di semua tempat,” katanya. (E06)