BANDA ACEH, KOMPAS — Empat hari pascakematian Bunta, gajah jantan jinak berusia 30 tahun, di CRU Serba Jadi, Kabupaten Aceh Timur, pelakunya belum juga terungkap. Aparat kepolisian terus menyelidiki kasus ini.
Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh bersama beberapa LSM lingkungan bahkan akan memberikan hadiah sebesar Rp 26 juta bagi siapa pun yang mengungkapkan pelaku pembunuh Bunta.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polisi Resor Aceh Timur Ajun Komisaris Erwin Satrio Wilogo mengatakan, sampel organ dalam Bunta sudah dikirimkan ke laboratorium forensik Medan. Penyebab kematian baru diketahui setelah hasil pemeriksaan laboratorium keluar.
“Masih pendalaman. Beberapa saksi telah kami mintai keterangan. Doakan semoga cepat terungkap,” kata Erwin di Aceh, Selasa (12/6/2018).
Hasil nekropsi terhadap bangkai gajah itu ditemukan kondisi hati, paru bengkak, gagal ginjal, dan gagal jantung. Bunta diduga kuat mati diracun. Bunta ditemukan mati di lokasi angon sekitar 400 meter dari posko mahout. Satu gading sebelah kiri sepanjang 100 sentimeter dibawa oleh pemburu.
Anggaran minim
Sementara itu, dukungan anggaran untuk kegiatan penyelamatan satwa lindung gajah di Aceh masih minim. Akibatnya upaya menyelamatan satwa yang terancam punah itu tidak berjalan maksimal.
Anggaran untuk melindungi gajah di Aceh sumbernya dari APBD Aceh dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Tahun ini Pemprov Aceh menganggarkan Rp 1,9 miliar dan dari KLHK melalui Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh sebesar Rp 750 juta.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh Syahrial, Selasa (12/6/2018), menuturkan, anggaran Rp 1,9 miliar tersebut dibagi untuk lima conservation response unit (CRU).
Di Aceh terdapat tujuh CRU, yakni CRU Sampoiniet (Aceh Jaya), Pante Kuyun (Aceh Barat), Trumon (Aceh Selatan), Mila (Pidie), Cot Girek (Aceh Utara), Pintu Rime (Bener Meriah), dan Serba Jadi (Aceh Timur).
CRU Sampoiniet dibiayai oleh PT Astra Agro Lestari dan CRU Trumon dibiayai oleh Usaid Lestari. Menurut Sapto, hanya dua CRU tersebut yang pendanaannya relatif lebih baik.
Anggaran dari APBD Aceh digunakan untuk membeli pakan gajah, gaji staf CRU, pengadaan logistik tim CRU, dan biaya patroli. “Kami akui anggaran masih minim. Idealnya satu CRU setahun minimal dapat Rp 500 juta,” kata Syahrial.
Pencairan lambat
Selain anggaran minim, ujar Syahrial, pencairan juga lambat. Anggaran tahun ini baru cair pada Juni. Akibatnya, pada semester pertama CRU kesulitan membeli pakan gajah dan biaya operasional lainnya.
Gajah jinak pun terpaksa diangon agar tidak kekurangan pakan. Kebutuhan vitamin gajah dibantu oleh lembaga swadaya masyarakat. Sementara gaji staf CRU, logistik, dan biaya patroli sementara menggunakan dana kegiatan lain.
Syahrial berharap KLHK mau mengalokasikan anggaran yang cukup untuk usaha penyelamatan satwa lindung di Aceh. “Sebenarnya persoalan satwa leader-nya pemerintah pusat, provinsi hanya mendukung,” kata Syahrial.
Kepala BKSDA Aceh Sapto Aji Prabowo mengatakan, tahun ini BKSDA Aceh memperoleh anggaran Rp 750 juta. Anggaran itu diperuntukkan gaji mahout atau pawang gajah 27 orang, pembelian pakan untuk gajah jinak di Pusat Pelatihan Gajah (PLG) Saree, dan biaya operasional penggiringan gajah liar. Jumlah gajah jinak di CRU dan di PLG sebanyak 34 ekor.
Sapto menambahkan, anggaran tahun ini lebih tinggi dari tahun 2017. Namun, Sapto berharap ada penambahan anggaran untuk tahun mendatang. Pasalnya, intensitas konflik gajah di Aceh tinggi dan perburuan cukup masif.
Sapto mengakui persoalan anggaran menjadi salah satu kendala dalam penanganan konflik satwa di Aceh. Untuk itu, pada awal Juli dia akan mengundang para pihak untuk membicarakan penganggaran penanganan konflik satwa.
“Saya berharap ada pihak swasta baik LSM dan perusahaan yang mau menjadi bapak asuh terhadap CRU,” kata Sapto.