Perwakilan Petani Donggala Adukan Astra Agro Lestari ke Jakarta
Oleh
Ichwan Susanto
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perwakilan warga yang berkonflik dengan PT Mamuang, anak perusahaan PT Astra Agro Lestari Tbk mengadu ke berbagai instansi di Jakarta, Rabu (16/5/2018), terkait konflik lahan yang mereka alami di Donggala, Sulawesi Tengah. Mereka berharap lahan garapan yang telah dikerjakan bertahun-tahun bisa kembali.
Khalisah Khalid, Kepala Departemen Kampanye dan Perluasan Jaringan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Rabu, di Jakarta, mengatakan, kasus yang dialami petani di Donggala ini membutuhkan penanganan Jakarta (pemerintah pusat). Ini karena terdapat berbagai keganjilan mulai dari konflik lahan hingga kriminalisasi petani.
Kemarin, ia bersama Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia dan Walhi Sulteng membawa Frans atau Hemsi (petani desa Panca Mukti) dan Sikusman (petani Polanto Jaya) perwakilan masyarakat yang berkonflik ke Kantor Staf Kepresidenan. Selain itu, mereka akan melaporkan penyerobotan lahan ke Bareskrim Polri serta melaporkan kasus ke Komnas HAM.
Mereka pun juga mengadukan ke Kementerian Pertanian karena perusahaan itu telah mendapat sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (RSPO). Idealnya, perusahaan yang mendapatkan sertifikasi ini bersih dari konflik lahan.
"Kami juga akan meminta informasi data Hak Guna Usaha PT Mamuang (grup Astra Agro Lestari)," kata dia.
Informasi data HGU tersebut untuk membandingkan keabsahan kepemilikan lahan antara perusahaan dan warga. Pasalnya, kata Khalisah, dalam sidang 4 petani Polanto Jaya yang diputus bersalah oleh Pengadilan Negeri Pasangkayu (Mamuju Utara, Sulawesi Barat), permintaan kuasa hukum petani agar PT Mamuang menunjukkan bukti HGU tak dipenuhi. Keempat petani telah divonis empat dan lima bulan penjara pada 24 April 2018.
Hemsi mengatakan 43 hektar lahannya telah dilengkapi Surat Kepemilikan Penguasaan Tanah (SKPT). Ia pun menunjukkan bukti bayar pajak PBB.
Dikonfirmasi terkait kasus ini, Kepala Komunikasi PT Astra Agro Lestari Tofan Mahdi mengatakan perusahaan patuh dan menghormati aturan dan putusan hukum. Terkait kepemilikan HGU PT Mamuang, ia menyatakan tak mau teknis masuk dalam materi di persidangan."Kami memiliki HGU yang sah dalam wilayah itu. Karena itulah kami lapor ke pihak berwajib (terkait pencurian buah sawit)," kata dia.
Atas putusan bersalah dari pengadilan, Abdul Wahib dari TuK Indonesia mengatakan masyarakat masih trauma sehingga tidak mengajukan banding. Namun, kata dia, kuasa hukum warga sedang berupaya mengajukan peninjauan kembali.
Permodalan
Abdul Wahid pun meminta agar lembaga jasa keuangan perkebunan aktif memverifikasi lapangan terkait konflik sosial, ekonomi, dan lingkungan perusahaan yang menjadi nasabah. Ia mengingatkan Otorita Jasa Keuangan (OJK) telah menerbitkan Peraturan Nomor 51 tahun 2017 tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan bagi Lembaga Jasa Keuangan, Emiten, dan Perusahaan Publik.
Ia mengatakan, pada 1 Januari 2019, lembaga keuangan tersebut diwajibkan memberikan laporan terkait keuangan berkelanjutan ini. Bila bank tidak perhatikan konflik di masyarakat, kata dia, akan jadi laporan buruk atau risiko reputasi karena dipublikasikan terbuka hasilnya oleh OJK.
Karena itu, ia berharap bank-bank mulai meninjau pendanaan perusahaan yang dimodalinya. "Pelanggaran yang dilakukan perusahaan tidak terlepas dari aksi binsis yang ditopang lembaga keuangan tersebut," kata Abdul.