JAKARTA, KOMPAS — Kesiapan regulasi dan kebijakan terkait pengolahan sampah menjadi energi dinilai lebih siap dibandingkan dengan kegiatan daur ulang sampah. Untuk itu, perlu keberpihakan kepada pelaku daur ulang yang membantu menghemat sumber daya alam dan mengurangi beban timbulan sampah.
”Kalau mau intensifkan material recovery, harus perkuat regulasinya,” kata Dini Trisyanti, Direktur Sustainable Waste Indonesia, Jumat (27/4/2018), di Jakarta. Ia ditanya terkait Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan.
Perpres tak eksplisit menyebut teknologi termal atau insinerator. Namun, isinya identik dengan Perpres No 18/2016 tentang Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik Berbasis Sampah di DKI Jakarta, Kota Tangerang, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Surakarta, Kota Surabaya, dan Kota Makassar yang telah dibatalkan Mahkamah Agung.
Kesiapan daerah
Dini mengatakan, posisinya adalah mendukung semua teknologi sesuai kondisi dan kesiapan daerah. Indonesia harus berani melangkah karena sampah telah menjadi masalah serius di berbagai media lingkungan di Indonesia.
Apalagi, kota-kota besar, seperti Jakarta yang dibebani 7.000 ton sampah per hari, butuh solusi cepat. Sebab, tempat pembuangan akhir hampir penuh dan sulit mencari lokasi baru. ”Kalau untuk sampah kota ribuan ton masih ngomongin komposting rumah tangga atau TPST (tempat pengolahan sampah terpadu), ya kapan tahun sudah keburu tenggelam,” katanya.
Asisten Deputi Infrastruktur Pertambangan dan Energi Kementerian Koordinator Kemaritiman Yudi Prabangkara mencontohkan kota Tokyo di Jepang. Negeri yang dikenal pemilahan sampahnya amat rinci sampai lebih dari lima bagian memiliki 21 insinerator. ”Di Jakarta dengan jumlah penduduk hampir sama dengan Tokyo belum ada satu pun (insinerator),” ujarnya.
Di Jakarta dengan jumlah penduduk hampir sama dengan Tokyo belum ada satu pun (insinerator).
Dini mengambil sisi positif, perpres baru ini mengamanatkan agar teknologi pengolahan sampah menghasilkan energi. Tujuan utama perpres itu memberi solusi bagi 12 kota dalam menghilangkan sampah, bukan untuk menghasilkan energi listrik.
Di sisi lain, regulasi untuk program sampah menjadi energi dinilai lebih siap. ”Untuk TPST masih abu-abu, masih banyak pemerintah daerah yang kesulitan,” katanya.
Untuk program sampah jadi energi, sejumlah regulasi dan kebijakan disiapkan. Kebijakan itu meliputi, antara lain, biaya pengolahan sampah atau tipping fee dan harga patokan pembelian energi baru terbarukan feed-in tariff PT Perusahaan Listrik Negara (Persero).
Pada program daur ulang, belum ada keberpihakan regulasi. Contohnya, industri cenderung memilih bijih plastik murni daripada membeli bahan daur ulang. Pembelian bahan daur ulang dinilai rumit dan tetap membayar Pajak Pertambahan Nilai. Meski regulasi minim, risetnya menunjukkan daur ulang plastik jenis PET dan PP di atas 50 persen.