Stop Sedot Air Tanah Tak Bisa Ditawar
Dalam sebuah lokakarya di Jakarta, seorang pakar geregetan karena isu yang lebih kuat membayangi tenggelamnya kota seolah hanya seputar kenaikan muka air laut. Bagi dia, ancaman nyata yang paling besar dan di depan mata daerah-daerah di Indonesia adalah penurunan muka tanah.
Kenaikan muka air laut ini memang betul-betul nyata. Namun dampak ilmiah dari perubahan iklim ini menjadi tantangan yang sedang dihadapi semua negara yang memiliki pesisir. Yang tak dihadapi semua negara adalah penurunan muka tanah.
Dalam konteks rob, banjir, dan menghilangnya pesisir daratan di Jakarta dan pantai utara lainnya, kenaikan muka air laut ini tak sebanding dengan penurunan muka tanah. Kecepatan kenaikan muka air laut akibat perubahan iklim di Pantai Utara Jawa sekitar 0,6 – 1,5 sentimeter per tahun atau lebih tinggi dari rata-rata kenaikan permukaan air laut di Indonesia 0,3 - 1 sentimeter per tahun. Artinya, dalam tiga dekade kenaikan muka air laut di Pantura Jawa “hanya” 18 – 45 sentimeter.
Bandingkan dengan data Heri Andreas, peneliti pada Divisi Riset Geodesi Institut Teknologi Bandung, penurunan muka tanah di Pantai Utara Jawa yang mencapai 1-25 sentimeter per tahun. Artinya dalam kurun waktu yang sama, penurunan muka tanah di Pantura lebih dari 10 x dari kenaikan muka air laut. Dalam konteks lapangan, kedua faktor ini berjalan bergandengan tangan dan memperberat kondisi lingkungan.
Akibatnya, rob atau inundation pun semakin meluas di seluruh Pantura dari Tangerang sampai ke Gresik. Di Demak, Jawa Tengah terjadi rob terparah seluas 3.221 ha disusul ibukota Semarang 1.157 hektar.
Penyebab penurunan muka tanah paling dominan adalah penyedotan air tanah di samping kondisi geologis sisi utara Jakarta serta beban gedung-gedung pencakar langit.
Andreas menunjukkan data series penyedotan air tanah sejak yang dimulai sejak tahun 1975 membuat zona-zona merah Jakarta semakin meluas. Bahkan hingga kini, tren penurunan muka tanah itu berlangsung linier tanpa henti.
Di Indramayu yang relatif sepi dari gedung pencakar maupun penyedotan air tanah, land subsidence juga terjadi. Beda dengan Jakarta, penurunan muka tanah di Indramayu disebabkan eksploitasi tambang minyak yang mau tak mau dilakukan untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar minyak.
Namun di Jakarta, penggunaan air tanah nyata-nyata berkorelasi terhadap land subsidence. Peta daerah yang mengalami penurunan muka tanah itu pun identik dengan daerah yang mengalami penurunan muka air tanah. Peta perkembangan kota di Jakarta dan Semarang bila di-overlay dengan peta daerah land subsidence pun kian berkorelasi.
“Perkembangan kota ternyata membutuhkan air tanah,” kata Andreas, Selasa (27/3/2018) di Jakarta.
Ini pun bisa menjadi pembelajaran bagi pembangunan kota-kota satelit maupun kota baru yang kini marak dibangun developer properti. Bila hanya mengandalkan air tanah sebagai sumber mata air, tanpa mengolah dari air permukaan seperti sungai atau waduk, hanya akan membangun kubangan (kalau tak mau dikatakan kuburan) sendiri.
Permodelan yang dilakukan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, bila pengambilan air tanah masih berlangsung seperti saat ini atau tidak ada penghentian, pada 2080 penurunan muka tanah akan terus meluas dan bisa mencapai 2 meter. Namun bila pengambilan air tanah bisa dihentikan, pada 2080, land subsidence ditaksir sekitar 0,875 meter.
Sebagai sebuah kota yang beradab dan maju, seharusnya perkembangan Kota Jakarta dan sekitarnya diiringi juga dengan penggunaan sumber air nonair tanah untuk mencukupi kebutuhan warganya.
Jepang misalnya, Kota Tokyo yang juga pernah mengalami land subsidence menjadi contoh baik. Sejak Ibukota Jepang yang berjejal gedung-gedung bertinggi itu menghentikan penyedotan air tanah di tahun 1975, penurunan muka tanah dapat dikatakan berhenti.
Bagi warga Jakarta di siang hari yang mencapai 12 juta jiwa, kebutuhan air dari saluran pemipaan selalu dibilang tidak mencukupi. Karena itu, pilihan mudah yang dilakukan dengan menyedot air tanah melalui perizinan di Pemda DKI Jakarta.
Namun hal ini ditepis M Amir Hamzah, Kepala Pusat Air Tanah dan Air Baku Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Ia mengatakan air baku yang memasuki PAM JAYA melalui Kalimalang dan sungai-sungai lain seperti Cisadane mencapai 26,9 meter kubik per detik. Suplai ini akan ditingkatkan dari sumber Waduk Jatiluhur sebesar 5 meter kubik per detik dan dari Buaran sebanyak 4 meter kubik per detik.
Suplai air baku 26,9 meter kubik per detik ini - dari perhitungan matematika sederhana - sebenarnya jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan warga Kota Jakarta di saat paling padat atau siang hari yang mencapai 12 juta jiwa. Bila menggunakan standar Kementerian PUPR seorang membutuhkan minimal 60 liter atau 0,06 meter kubik per hari, sejumlah 12 juta jiwa itu membutuhkan 720.000 meter kubik air bersih. Ini hanya sekitar sepertiga dari suplai air baku yang mencapai 2,3 juta meter kubik per hari (26,9 meter kubik per detik x 60 detik x 60 menit x 24 jam).
Satu permasalahan klasik yang membuat layanan air bersih melalui pemipaan ini tak kunjung tuntas masih berkutat pada kebocoran saluran air yang mencapai 40 persen. Amir berharap kebocoran ini bisa diatasi paling tidak hingga 20 persen agar layanan air bersih merata.
Pun yang tak kalah penting sebenarnya adalah me-recharge gudang air di bawah tanah dengan mengembalikan air hujan ke tanah pada petak-petak lahan sekitar gedung maupun fasilitas umum. Metodenya bisa dari sumur serapan hingga biopori sederhana.
Bila ini belum bisa dilakukan, paling tidak bisa memanfaatkan air hujan untuk mensubstitusi sebagian kebutuhan air kita. Bila pasokan air bersih sudah terpenuhi – juga bagi keperluan industri dan kawasan khusus lain di Jakarta – sudah saatnya Pemerintah DKI Jakarta menghentikan izin-izin pengambilan air tanah serta melakukan penegakan hukum serius bagi pelanggarnya.
Menyetop penggunaan air tanah di Jakarta merupakan kunci untuk mengerem Jakarta “ambles” atau berubah menjadi danau di masa mendatang.