JAKARTA, KOMPAS — Wahana Lingkungan Hidup Indonesia mendesak presiden secara konsisten menolak lanjutan pembahasan Rancangan Undang-Undang Perkelapasawitan. Hal ini perlu dilakukan dengan alasan Rancangan Undang-Undang ini dinilai tidak memiliki urgensi dan justru berorientasi pada kepentingan investasi serta abai pada kepentingan rakyat dan lingkungan.
Kepala Departemen Kampanye dan Perluasan Jaringan Eksekutif Nasional Wahana Lingkungqn Hidup Indonesia (Walhi) menyatakan, pihaknya khawatir Racangan Undang-Undang (RUU) ini menjadi bentuk transaksi politik saja.
”Tekanan partai politik sangat besar di tengah tahun politik saat ini. RUU ini jelas bertentangan dengan semangat instruksi presiden moratorium dan kontradiktif dengan rencana Presiden mengeluarkan moratorium sawit pada 2016,” ujarnya dalam konferensi pers Rencana Kotor di Balik RUU Perkelapasawitan di Jakarta, Senin (26/3).
Adapun beberapa pasal yang dinilai lebih berorientasi pada kepentingan investasi dan abai kepada rakyat dan lingkungan, antara lain pada Pasal 9 Ayat 2, Pasal 23 Ayat 4, Pasal 50, dan Pasal 51. Pada beberapa pasal tersebut dituliskan membuka peluang pemanfaatan bahkan pembukaan ekosistem gambut untuk perkebunan kelapa sawit.
Ketentuan tersebut dinilai bertentangan dengan semangat perlindungan ekosistem gambut dan upaya pemerintah mencegah kebakaran hutan dan lahan. Jika RUU ini disahkan, kekuatan inpres terkait moratorium menjadi lemah.
Untuk itu, Walhi mendesak pemerintah menarik diri dari pembahasan RUU Perkelapasawitan sehingga relevansi UU ini hilang untuk dibahas dan disahkan.