Kebijakan Satu Peta Belum Memenuhi Tuntutan Daerah
Oleh
Yuni Ikawati
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS -- Kebijakan Satu Peta yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Presiden Nomer 9 Tahun 2016 masih berbasis pada penyediaan peta berskala 1:50.000 dan hanya melibatkan 19 kementerian dan lembaga. Ketersediaan peta ini belum memenuhi tuntutan daerah yang harus menyusun Rencana Detil Tata Ruang.
Karena itu dalam rencana pembangunan mendatang mendesak disusun peta dasar dan tematik skala besar, yaitu 1:5.000. Selain itu semua kementerian dan swasta juga harus terlibat dalam program ini, untuk berbagi informasi geospasial yang dimiliki sehingga dapat melengkapi data spasial.
Hal ini disampaikan Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution dan Kepala Badan Informasi Geospasial Hasanuddin Z Abidin dalam Rapat Koordinasi Nasional Informasi Geospasial (Rakornas IG), di Jakarta, Rabu (21/3).
Darmin menjelaskan, setelah kompilasi dan integrasi 85 informasi geospasial tematik yang dimiliki kementerian, lembaga, dan daerah provinsi akan selesai dua bulan lagi, dan Agustus mendatang akan diresmikan Presiden. Namun masih banyak yang harus dilakukan, antara lain sinkronisasi data spasial.
Sinkronisasi ini harus dilakukan untuk mengatasi konflik dan tumpang tindih dalam pemanfaatn lahan untuk pembangunan infrastruktur, pertambangan, kehutanan, dan hak guna usaha di sektor lainnya. Sinkronisasi ini akan berlanjut hingga 2019.
Saat ini dengan peta skala kecil hingga menengah, pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota dapat menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Namun penyusunan RTRW ini terkendala dalam penyusunan Rencana Detil Tata Ruang (RDTR). "Dari 514 kabupaten/kota di Indonesia, hanya sekitar 40 yang telah memiliki RDTR," kata Darmin.
“Karena itu masih luas diskresi penggunaan ruang wilayah,” tambahnya. Dengan peta skala lebih besar dapat mengurangi konflik lahan dan pelaksanaan program strategis dan pembangunan kawasan ekonomi khusus dan kawasan pedesaan dapat lebih cepat.
Hasanuddin sependapat perlunya penyediaan peta skala besar yaitu 1:5000 hingga 1:1000. Hal ini untuk memenuhi tuntutan reforma agraria, pembangunan di pedesaan dan kota cerdas. Karena itu diperlukan kebijakan percepatan penyediaan Informasi Geospasial Tematik (IGT) untuk penyusunan RDTR skala 1:5000 yang digunakan untuk pengendalian, perijinan dan pemanfaatan ruang, dengan memperhatikan ketersediaan Informasi Geospasial Dasar (IGD).
Untuk penyediaan data IGD skala besar tersebut, ditambahkan Deputi Bidang Informasi Geopasial Dasar, Mohammad Arief Syafi’i diperlukan waktu lima tahun dan anggaran Rp 8 triliun. Pembuatan peta ini akan menggunakan sistem radar untuk penginderaan jauh menggunakan wahana pesawat udara. Selain itu diperlukan sekitar 6.000 personel untuk melaksanakan program ini.
Menjaring Swasta
Untuk mempercepat penyediaan IGT di Indonesia, menurut Hasanuddin perlu lebih banyak melibatkan kementerian, lembaga dan swasta. Kementrian yang memiliki data tematik antara lain Kementrian Kesehatan, BKKBN, dan BUMN seperti Pertamina. Selain itu perusahaan pertambangan dan kehutanan yang mempunyai data spasial lebih detik juga harus menghimpun datanya. Untuk itu diperlukan payung hukum, papar Hasanuddin.
Darmin menambahkan pemetaan oleh pihak swasta bukan hanya menggunakan satelit tapi juga drone, sehingga peta mereka sangat rinci. Ini banyak manfaatnya untuk memperkaya peta yang ada di pemerintah. “Kalau kebijakan satu peta dituangkan dalam Peraturan Presiden, maka untuk berbagi pakai dari swasta akan diatur dalam instruksi presiden,” tambahnya.
Pada Rakornas IG disepakati pelaksanaan percepatan program IG antara lain dalam penyediaan IG darat (non hutan) pada skala 1: 5.000. Sedangkan untuk kota metropolitan, smart city, kata Hasanuddin, akan disediakan peta utilitas bawah tanah dalam model tiga dimensi.
Selain itu juga akan disediakan IG untuk kota disekitar KI/KEK pada skala 1:1.000. Dilakukan pula percepatan penyediaan IG termutakhir untuk menyusun tata ruang dan peta perbatasan yang merupakan program prioritas nasional.
Penyediaan IG laut pada skala 1:10.000 juga akan dipercepat yaitu untuk wilayah yang diprioritaskan pembangunannya meliputi KEK, KI, pelabuhan, sistem keselamatan navigasi, Alur Laut Kepulauan Indonesia, pulau terluar, dan mitigasi bencana alam.
Seluruh data IGD akan menjadi domain publik tanpa ada batasan skala atau layer kecuali yang berkaitan dengan Hankam. Untuk itu Ina-Geoportal dan komponen pendukungnya akan ditingkatkan untuk pengolahan, penyimpanan, pemanfaatan dan berbagipakai data secara cepat. Hal ini memerlukan payung hukum untuk big-data dalam konteks pusat super data.
Direncanakan pula percepatan integrasi IGT pesisir dan kelautan dalam konsep National Oceanographic Data untuk menjawab berbagai isu strategis dalam pembangunan wilayah kelautan. Untuk menuangkan rencana tersebut akan dibentuk Tim antar Kementrian Lembaga dan Pemda untuk penyusunan RPJMN Bidang IG 2020-2024 yang akan ditetapkan melalui Surat Keputusan Kepala BIG.