JAKARTA, KOMPAS Penanganan kasus kanker di Indonesia dinilai lambat. Hal itu dipicu oleh rendahnya kesadaran masyarakat untuk deteksi dini penyakit itu dan sistem layanan kesehatan yang buruk. Padahal, bagi pasien yang menghadapi progresivitas penyakitnya, waktu menjadi faktor penting dalam terapi.
Menurut Ketua Komite Penanggulangan Kanker Nasional atau KPKN, Prof Soehartati Gondhowiardjo, di sela-sela acara War on Cancer South East Asia 2018, di Jakarta, Selasa (20/3), mayoritas pasien kanker terlambat berobat ke fasilitas kesehatan. Saat berobat, pasien umumnya memasuki stadium lanjut.
Kondisi itu mengakibatkan keberhasilan terapi kecil dan pengobatan yang dijalani lebih rumit. Selain itu, biaya pengobatan kanker yang harus dikeluarkan menjadi lebih mahal.
Menurut Riset Kesehatan Dasar Tahun 2013, prevalensi kanker pada penduduk semua umur di Indonesia 1,4 per 1.000 penduduk (347.492 orang). Kanker payudara jadi kanker paling banyak diderita disusul kanker serviks dan kanker kolorektal.
Ketua Yayasan Kanker Indonesia Prof Aru Wisaksono Sudoyo, mengatakan, dari waktu ke waktu, jumlah kasus kanker cenderung naik. Untuk itu, upaya pencegahan dan deteksi dini menjadi amat penting.
Pencegahan bisa dilakukan melalui vaksinasi atau menerapkan pola hidup sehat seperti olah raga teratur, menjaga berat badan ideal, dan diet sehat. Adapun deteksi dini bisa dilakukan dengan pemeriksaan Inspeksi Visual Asam Asetat (IVA), papsmear, serta periksa payudara sendiri (sadari).
Layanan lambat
Menurut Soehartati, keterlambatan penanganan medis terjadi karena pemahaman warga minim terkait cara mencegah, mendeteksi, dan mengobati kanker. Setelah didiagnosis, kanker, pasien umumnya tak langsung menjalani terapi di fasilitas kesehatan, melainkan berobat alternatif. Saat kankernya kian progresif, pasien biasanya kembali berobat ke dokter tapi kondisi sudah memburuk.
Aru menambahkan, keterlambatan penanganan kanker juga akibat layanan kesehatan lambat dan alat terbatas. Sistem rujukan berjenjang dalam program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS), misalnya, menghambat terapi yang seharusnya dijalani secepatnya oleh pasien.
Soehartati memaparkan, 50-60 persen pasien kanker memerlukan radiasi, sedangkan alat radiologi di Indonesia baru ada 63 unit dan ketersediaannya belum merata. Contohnya, di Kawasan Timur Indonesia, alat radiologi hanya ada di Makassar dan Manado.
“Rata-rata masa tunggu pasien kanker untuk radiasi secara nasional adalah 12 minggu atau tiga bulan. Itu pun dengan kondisi semua alat yang ada dioperasikan di atas normal, lebih dari 40 jam seminggu,” ungkapnya.
Rata-rata masa tunggu pasien kanker untuk radiasi secara nasional adalah 12 minggu atau tiga bulan. Itu pun dengan kondisi semua alat yang ada dioperasikan di atas normal, lebih dari 40 jam seminggu
Saat ini di sejumlah tempat proses pemasangan alat radiologi sedang berjalan, sehingga di awal tahun 2019 diharapkan ada sekitar 80 alat radiologi di Indonesia. Harapannya, waktu tunggu pasien makin singkat, apalagi perubahan regulasi memungkinkan pasien kanker menempuh jalur khusus dalam terapinya.
Menteri Kesehatan Nila Farid Moeloek, dalam pembukaan acara War On cancer South East Asia 2018, menyampaikan, penanggulangan kanker secara nasional diprioritaskan pada upaya promotif dan preventif, penetapan panduan tata laksana, pencatatan data kasus, terapi multidisplin, dan layanan paliatif. Upaya promotif dan preventif dilakukan dengan meningkatkan pemahaman, kesadaran, dan penapisan.
Tata laksana
Soehartati menambahkan, panduan tata laksana bagi 8 jenis kanker sudah dibuat dan tinggal ditandatangani menteri kesehatan. Delapan jenis kanker itu meliputi antara lain, kanker payudara, kanker serviks, kanker paru, kanker kolorektal, kanker anak, dan kanker nasofaring. Panduan itu juga berisi petunjuk bagi rumah sakit menurut tipenya.
Selain upaya promotif dan preventif, vaksinasi human papilloma virus (HPV) untuk mencegah kanker serviks dilakukan di sejumlah kota besar percontohan. Namun, saat ditanya apa peran pemerintah dalam menurunkan prevalensi merokok, Nila tak menjawabnya dengan lugas. Padahal, merokok merupakan salah satu faktor risiko utama terjadinya kanker. (ADH)