Jakarta, Kompas – Badan Pengawas Obat dan Makanan sangat mengharapkan adanya undang-undang pengawasan obat dan makanan agar pengawasan yang dilakukan lebih efektif dan kuat. Dengan adanya undang-undang ini, BPOM dapat memiliki peran lebih kuat, antara lain dalam penggolongan jenis obat dan skema akses khusus obat-obat tertentu yang masih berada di Kementerian Kesehatan.
Undang-undang ini diperlukan agar secara kelembagaan BPOM lebih kuat dan efektif dan intensif dalam pengawasan produk obat dan makanan. Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan menyatakan bahwa BPOM adalah lembaga pemerintah nonkementerian yang menjalankan urusan pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan. Tugas dan kewenangan BPOM juga diatur dalam Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2017 tentang Peningkatan Efektivitas Pengawasan Obat dan Makanan.
“Isi undang-undang pengawasan obat dan makanan nantinya untuk meneguhkan apa yang sudah ada dalam Inpres 3/2017,” ujar Kepala BPOM Penny K Lukito, Senin (5/3), di Jakarta. Dia mengatakan, ketika dilantik menjadi Kepala BPOM dirinya diberi tanggung jawab untuk memperkuat BPOM dalam menjalankan fungsi pengawasannya.
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Tulus Abadi, menuturkan, wacana penguatan BPOM telah muncul sejak tahun 1998-1999. Namun, hal itu belum pernah terwujud hingga kini.
Wacana penguatan BPOM telah muncul sejak tahun 1998-1999. Namun, hal itu belum pernah terwujud hingga kini.
Padahal, sebagai negara kepulauan urusan pengawasan produk farmasi dan makanan di Indonesia tidak bisa mengandalkan pada Kementerian Kesehatan atau dinas kesehatan. Perlu BPOM yang kuat dan memiliki otoritas yang hadir hingga ke tingkat kabupaten/ kota. Meski begitu, rencana dan arah penguatan dari sisi sumber daya manusia dan penganggaran juga perlu jelas.
Keberpihakan Presiden Joko Widodo terhadap penguatan BPOM bisa menjadi momen untuk membahas Rancangan Undang-Undang Pengawasan Obat dan Makanan yang merupakan inisiatif DPR.
Industri farmasi
Beberapa waktu lalu BPOM mencabut izin edar dua produk farmasi, yakni Viostin DS dan Enzyplex karena positif mengandung DNA babi. Seminggu lalu, Penny menyatakan ada 13 industri farmasi lain yang memiliki produk serupa dengan dua merek tersebut dan diduga mengandung DNA babi juga.
Penny pun mengklarifikasi, dari 13 industi farmasi tersebut terdapat 17 produk serupa dengan Viostin DS dan Enzyplex. Dari 13 industri farmasi itu ternyata delapan di antaranya sudah tidak beredar di masyarakat karena izin edarnya sudah tidak diperpanjang sejak 2013-2015.
Selain itu, ada empat industri farmasi dengan lima produk yang sedang dievaluasi oleh BPOM. Namun, keempat industri tersebut sudah menyerahkan izin edar produknya dan sedang menarik secara sukarela produknya dari masyarakat.
Ada empat industri farmasi dengan lima produk yang sedang dievaluasi oleh BPOM. Namun, keempat industri tersebut sudah menyerahkan izin edar produknya dan sedang menarik secara sukarela produknya dari masyarakat.
“Evaluasi masih dilakukan. Hasilnya belum tentu juga mengandung DNA babi,” kata Penny.
Satu dari empat industri itu adalah PT Kalbe Farma. Hrda Pradsmadji, Head of Coorporate Communication & CSR PT Kalbe Farma, membenarkan penarikan sukarela tersebut.
“Kalbe secara sukarela dan sebagai bentuk tanggung jawab kepada konsumen mengembalikan izin edar Vitazym. Kalbe juga melakukan penarikan secara sukarela supaya bisa mengevaluasi kembali produk tersebut dalam rangka menjaga kualitas produk,” tuturnya.
Kalbe secara sukarela dan sebagai bentuk tanggung jawab kepada konsumen mengembalikan izin edar Vitazym.
Sebenarnya, ujar Herda, secara prosedur Kalbe sudah mendapat sertifikat Cara Produksi Obat yang Baik. Sementara evaluasi oleh BPOM masih berlangsung, Kalbe menyerahkan izin edar dan melakukan penarikan secara sukarela.
Adapun satu industri farmasi lainnya, ujar Penny, sudah diperiksa oleh BPOM dan hasilnya tidak mengandung DNA babi. Produknya kini masih beredar di masyarakat.